- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ini adalah tulisan tengah malam sembari menunggu waktu memasak sahur. Langsung ke intinya – saya tinggal di asrama dan saya senang dengan kehidupan saya di sini. Tujuan saya terpenuhi: jaringan baru, rutinitas pagi yang produktif, kelas agama, dan lainnya. Namun, ada satu peraturan yang tetap selalu saya patuhi atau kalaupun saya langgar pasti saya jalankan “hukuman”-nya, tetapi menjadi landasan lahirnya tulisan ini.
Sebagai catatan penting, saya hanya membicarakan asrama saya di tahun saya, dan saya menyadari asrama-asrama lain memiliki peraturan yang berbeda dengan justifikasi yang berbeda. Catatan penting lainnya adalah bahwa saya tidak berdiskusi lebih lanjut dengan pengurus asrama dan memulai debat, “Kenapa peraturan ini harus ada?” Tujuan saya bukan untuk mengkudeta asrama dan, sekali lagi, saya menerima adanya peraturan ini. Ini adalah apa-apa yang secara apa adanya pandangan saya saja.
Peraturannya adalah, pukul 10 malam ialah batas waktu pulang untuk anggota putri, sementara anggota putra dibatasi hingga pukul 11. Sebenarnya bisa saja tiba lebih larut, toh setiap anggota memegang kunci duplikat. Namun, akan ada hukuman yang dikenakan. Saya tidak tahu konsekuensi di asrama putra, tetapi di asrama saya, hukumannya adalah membaca sejumlah yang ditetapkan, yang jumlah bacaannya semakin banyak semakin lama jam malam berlalu.
Poin-poin pikiran ini berlalu lalang di kepala saya, khususnya ketika saya berada di perjalanan pulang tadi. Skenario paling pertama yang saya pikirkan adalah terkait posisi saya sebagai senator di kongres kampus, pada masanya. Agenda Kongres biasa dimulai pada pukul 8 malam, dan syukurlah sejak dua tahun yang lalu, ketua kongres di masa tersebut menginisiasi kebijakan batas akhir agenda pukul 11 malam. Kebetulan tidak ada anggota asrama putra yang menjadi senator seperti saya, tetapi membayangkan kondisi “jika ada anggota asrama putra yang juga menjadi senator” tentu akan ada banyak malam saya mengomel sendiri mendapati saya pulang dan menerima konsekuensi, sementara dia tidak.
Padahal, menurut saya, kesibukan anggota putra dan putri yang notabene sama-sama mahasiswa, ya, sama-sama saja. Benar-benar sesama itu. Selain senator, tidak jarang anggota putri memegang posisi penting lain di organisasi lain, yang sangat mungkin memakan waktu di malam hari karena pagi hingga sore biasa dihabiskan dengan padatnya perkuliahan.
Kembali ke skenario senator, semisal skenario yang saya pakai menjadi jauh lebih ekstrem, dengan kondisi seluruh anggota asrama menjadi senator, perbedaan batas waktu malam akan memengaruhi kualitas dan keberlangsungan Kongres. Saya membayangkan Kongres kehilangan banyak diskusi yang harusnya bisa dilemparkan oleh para senator perempuan yang sayangnya pulang lebih awal karena batas waktu malam yang lebih pendek. Hal ini mendorong ketidakadilan gender dalam lingkungan kampus, bahkan membatasi kesempatan dan hak perempuan dalam hal pengambilan keputusan.
Lebih jauh, jika “selalu pulang lebih awal” kemudian dianggap sebagai keterbatasan, boleh jadi anggota putri kehilangan sejumlah kesempatan karena dianggap tidak memiliki keleluasaan waktu yang cukup untuk mengemban tanggung jawab, terutama dalam hal nonakademik yang umumnya menguras waktu di malam hari.
Jika alasannya adalah keamanan, sebenarnya saya lebih setuju dengan langkah yang diambil ketua himpunan di masa saya menjabat sebagai senator – kebetulan ia adalah ketua perempuan kedua dalam sejarah himpunan saya. Saat isu begal di sekitar kampus sedang naik-naiknya, terutama di malam hari, terdapat imbauan bagi seluruh anggota himpunan untuk mengurangi aktivitas malam hari di luar rumah. Kegiatan himpunan untuk seluruh anggota himpunan juga dibatasi hanya boleh hingga sore. Tentu saja, tidak dibedakan imbauan atau batasan antara anggota laki-laki dan perempuan.
Pertimbangan pertama, jika dilihat dari sudut pandang yang lain dari alasan keamanan, bukankah berarti anggota laki-laki dibiarkan tidak aman lebih lama? Saya tahu laki-laki dan perempuan memiliki kondisi fisik yang berbeda yang membuat, biasanya, laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Namun, bukan berarti adik tingkat saya dengan ke-”laki-laki”-annya pasti mampu melawan begal. Toh, akhirnya, ia dilarikan ke UGD dan menerima sejumlah jahitan di dahi. Ya, ini kisah nyata.
Lagipula, menimbang latar belakang keilmuan saya adalah perencanaan dalam manajemen kebencanaan, saya sering membaca pernyataan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama rentan jika dihadapkan pada bencana. Perempuan rentan karena, biasanya, kapasitas dan kemampuannya menyelamatkan diri lebih rendah dari laki-laki–entah. Penyebabnya bisa karena fisik yang lebih lemah, atau karena kesempatan akses ke pelatihan penyelamatan diri lebih terbatas daripada laki-laki – tapi ini sebuah bahan ketimpangan gender yang lain yang terlalu panjang untuk dibahas di sini. Sementara itu, laki-laki lebih rentan karena, biasanya, lebih sering berada di tempat yang lebih rawan, mengingat konstruksi sosial masih menuntut perempuan menghabiskan sebagian waktunya di rumah yang relatif lebih aman.
Pertimbangan kedua, tentu posisi perempuan dalam bahasan “keamanan” di sini adalah sebagai korban. Pertanyaannya, jika saya harus pergi ke pasar, tetapi di pasar rawan pencurian, apakah solusinya adalah saya yang sebaiknya tidak pergi ke pasar, ataukah pencurinya yang lekas dipotong tangannya satu-satu agar berhenti mencuri? Maksud saya, sudahlah saya terancam ponselnya dicuri, kenapa justru saya yang semakin dibatasi haknya bergerak? Kenapa bukan pencuri-pencuri itu yang dihabisi sebagai biang kerok masalah?
Ya, jawabannya, tentu karena lebih mudah membatasi perempuan daripada menangkap satu per satu pencuri, atau begal, atau penjahat sialan itu, apalagi dalam situasi masih menjamurnya stereotipe perempuan lemah dan bisa dikontrol dengan mudah. Kondisi perempuan dalam konstruksi sosial sekarang masih dan sudah “biasa” serba dibatasi dengan dalih perempuan harus dilindungi. Padahal, stereotipe tersebut tidak mencerminkan realitas semua perempuan.
Sebagai perencana, sebenarnya saya memandang bahwa hal ini dapat dilihat sebagai solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang. Pembatasan aktivitas perempuan di malam hari bisa menjadi solusi jangka pendek selagi para pembegal dan penjahat dikejar dan diadili. Akan tetapi, pertanyaannya, apakah solusi jangka panjang itu dilaksanakan? Apakah aparat keamanan sekarang sudah mau repot-repot mengatasi begal? Melihat kasus klitih di Yogyakarta yang sudah berulang kali viral seantero negeri tetapi belum menemukan titik terang, wah, kenapa saya sangsi?
Namun, jika kembali ke dalam konteks anggota asrama, sebenarnya saya tidak terlalu mempermasalahkan adanya batasan malam. Lagipula, kegiatan asrama biasanya dimulai sejak subuh, jadi di satu sisi saya menyetujui aturan tersebut dengan tujuan anggota asrama lekas pulang dan lekas istirahat. Persoalan yang sering hinggap di kepala saya lebih kepada adanya perbedaan jam batasan malam antara laki-laki dan perempuan.
Pada akhirnya, ini hanyalah apa-apa yang berkelana di kepala saya. Ujung-ujungnya, saya tetap selalu mengusahakan tiba di asrama pukul 10, sampai-sampai dijuluki si paling tepat waktu. Alasannya setidaknya tiga. Pertama, tentunya waktu 24 jam yang terbatas akan semakin berkurang jika saya menambah-nambah hukuman yang memakan waktu untuk dikerjakan. Kedua, untungnya saat ini adalah masa-masa forum hybrid adalah hal yang lazim. Walaupun saya tidak ada di ruang sekretariat kemahasiswaan kampus, saya “ada” di dalam ruang Zoom. Ketiga, tentu saja saya mencari kesempatan dalam kesempitan. Kalau saya satu jam lebih cepat bisa lekas pulang, mengikuti kegiatan dari kasur, dipeluk selimut yang hangat, dan merebahkan punggung yang jompo, dengan alasan jam malam asrama yang biasanya tidak bisa ditolak, kenapa tidak?
***
Special thanks untuk Teh Himma yang berkenan menjadi beta reader tulisan ini yang kemudian menjadi rekan diskusi sampai pukul satu pagi.
Komentar
Posting Komentar