- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Integrasi Industri dalam Mendukung Perencanaan dan Manajemen Agrikultura (Studi Kasus: Indonesia, Jepang, Prancis)
Integrasi Industri dalam
Mendukung Perencanaan dan Manajemen Agrikultura
(Studi Kasus: Indonesia, Jepang,
Prancis)
Zahra Annisa Fitri
15419031
ditulis untuk pemenuhan tugas mata kuliah Sistem Inovasi Wilayah dan Kota
A.
PENDAHULUAN
Diungkapkan oleh Dekan Fakultas Pertanian UGM Dr.
Jamhari, pembangunan pertanian harus terintegrasi dengan agrobisnis dan
bisnis-bisnis lainnya, seperti agrowisata (Agung, 2015). Hal ini dikarenakan
tren agrobisnis akan terus meningkat, berbeda dengan tren agrikultur yang jika
berdiri sendiri akan turun. Oleh sebab itu, pengelolaannya ke depan harus
terintegrasi.
Selain persoalan fokus yang tidak bisa jika hanya
agrikultur saja, terdapat pula persoalan terabaikannya potensi agrikultur. Hal
ini terjadi di Bali. Kegiatan yang terfokus pada sektor pariwisata disadari
telah mengabaikan potensi dan peran sektor pertanian yang selama ini menjadi
basis budaya dan kehidupan sebagian besar masyarakat Bali (Anugrah dkk, 2014).
Pertanian sendiri direncanakan untuk dikuatkan Pemerintah sebagai pilar
perekonomian (Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI,
2021).
Dalam memperluas rantai industri, meningkatkan
pendapatan petani, serta mengembangkan ekonomi agrikultur, French rural
tourism ‘wisata pedesaan Prancis’ dan Japanese sixth industrialization ‘industrialisasi
keenam Jepang’ terbukti memberikan efek positif. Melihat integrasi industri
pertanian di perdesaan Indonesia belum berjalan dengan baik, makalah ini
disusun untuk mendukung integrasi industri pertanian di perdesaaan Indonesia,
baik untuk meningkatkan kesejahteraan petani maupun mengembangkan kualitas dan
kuantitas hasil industri pertanian di perdesaaan Indonesia secara umum.
Rumusan persoalan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana
persoalan integrasi agrikultur di Indonesia?
b. Mengapa konsep French
rural tourism dan Japanese sixth industrialization dapat mengatasi
persoalan penataan agrikultur di Indonesia?
c. Bagaimana jika
konsep French rural tourism dan Japanese sixth industrialization diterapkan
di Indonesia?
d. Bagaimana best
practices integrasi agrikultur di Indonesia jika dilihat dari Sistem
Pertanian Terintegrasi (Simantri) di Bali, Indonesia?
Makalah ini berfokus pada persoalan penataan
agrikultur di Indonesia secara umum yang diusulkan untuk diatasi dengan konsep French
rural tourism dan Japanese sixth industrialization, yang akan
dikomparasikan dengan konsep Simantri, Bali, yang diasumsikan sebagai best
practices untuk integrasi industri agrikultur di Indonesia.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menjelaskan
bagaimana integrasi industri mampu mendukung perencanaan dan manajemen agrikultura
dengan wilayah studi kasus Indonesia, Jepang, dan Prancis. Untuk mencapai
tujuan tersebut, sasaran dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi persoalan integrasi agrikultur di
Indonesia;
b. Menjelaskan konsep French rural tourism dan Japanese
sixth industrialization dalam mengatasi persoalan penataan agrikultur di
Indonesia;
c. Menganalisis
penerapan konsep French rural tourism dan Japanese sixth
industrialization di Indonesia;
d. Memaparkan best practices integrasi agrikultur
di Indonesia dilihat dari praktik Simantri di Bali, Indonesia.
B.
IDENTIFIKASI
PERSOALAN
Berdasarkan Petunjuk Teknis khususnya untuk penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), makalah ini akan memuat analisis yang
dilakukan dengan mencakup aspek-aspek berikut: kedudukan dan peran daerah dalam
konteks wilayah, sosial kependudukan, ekonomi wilayah, kelembagaan dan
pembiayaan, serta sarana dan prasana. Dari aspek kedudukan dan peran daearah
dalam konteks wilayah, diketahui bahwa masih terdapat ketimpangan antara
perkotaan dan perdesaan. Dari aspek sosial kependudukan, kesejahteraan dan
partisipasi petani perlu dikuatkan. Dari aspek ekonomi wilayah, kawasan
pertanian dapat didorong untuk dimaksimalkan potensinya dan memberikan
keuntungan ekonomi yang memberikan multiplier effect bagi ranah lainnya.
Dari aspek kelembagaan dan pembiayaan, perlu ditinjau apakah kelembagaan yang
terlibat telah menjalankan masing-masing perannya dengan optimal dan apakah
skema pembiayaan yang terjadi saat ini sudah memadai. Terakhir, dari aspek
sarana dan prasarana, perlu dipastikan apakah sarana dan prasarana yang ada
telah cukup untuk pelaksanaan integrasi industri agrikultura.
Dalam ranah integrasi industri agrikultura atau
pertanian, Jepang dan Perancis dapat menjadi acuan dengan konsep French
rural tourism ‘wisata pedesaan Prancis’ dan Japanese sixth
industrialization ‘industrialisasi keenam Jepang’ yang terbukti memberikan
efek positif. French rural tourism dilatarbelakangi ketimpangan yang
semakin besar pasca-Perang Dunia Kedua akibat tingginya angka urbanisasi. Oleh
karena itu, perdesaan diberdayakan oleh Prancis agar ketimpangan tidak semakin
parah.
Sementara itu, latar belakang Japanese sixth
industrialization adalah kondisi di tahun 1990-an: pengolahan, peredaran
dan konsumsi hasil pertanian Jepang semuanya dilakukan di luar daerah pedesaan.
Akibatnya, petani tidak memperoleh nilai tambah dari perpanjangan rantai
industri pertanian. Tenaga kerja perdesaan benar-benar hilang karena masyarakat
perdesaan berbondong-bondor bermigrasi ke kota. Pendapatan petani Jepang terus
menurun di abad ke-21. Pasar grosir dan supermarket memperoleh lebih banyak
keuntungan dari produksi pertanian sehingga memengaruhi tingkat pekerjaan dan
besar pendapatan di perdesaan. Urbanisasi ini menyebabkan pembangunan yang
sangat tidak merata antara perkotaan dan perdesaan. Tekanan impor produk
pertanian semakin meningkat akibat liberalisasi perdagangan. Pemerintah Jepang
kemudian secara bertahap menerima konsep pembangunan sixth
industrialization. Seiring dengan masyarakat yang mulai lebih memperhatikan
pola makan sehat karena adanya peningkatan tingkat pendapatan negara secara
keseluruhan, kebijakan pertanian Jepang berfokus pada penyediaan produk
pertanian yang berkualitas dan sehat bagi konsumen untuk mempromosikan
komunikasi antara produsen pertanian dan konsumen.
Berdasarkan latar belakang tersebut, terlihat bahwa
terdapat kesamaan kondisi antara Indonesia dengan Jepang dan Prancis, dimulai
dari adanya permasalahan urbanisasi yang meningkatkan ketimpangan, serta adanya
upaya untuk mendorong pembangunan dari ranah pertanian dan perdesaan, yang
menjadi keunggulan dalam adaptasi konsep-konsep tersebut di Indonesia. Selain
itu, konsep French rural tourism dan Japanese sixth industrialization
yang akan dijelaskan lebih lanjut di bab berikutnya merupakan konsep
integrasi yang bersifat general. Artinya, meskipun terdapat sejumlah perbedaan
kondisi dengan Indonesia, konsep dari Jepang dan Prancis ini tetap dapat
diterapkan di Indonesia dengan menyesuaikan kondisi Indonesia.
Perbedaan yang dimaksud, yang menjadi kekurangan dari
adaptasi ini, adalah fakta bahwa Jepang dan Prancis adalah negara maju, berbeda
dengan Indonesia yang masih merupakan negara berkembang. Perbedaan-perbedaan
antara negara maju dan negara berkembang, baik dari besar pendapatan per
kapita, kondisi infrastruktur, kualitas pendidikan, hingga etos kerja dan
tingkat pertumbuhan penduduk, mungkin menjadi hal yang signifikan dan dapat
menghambat adaptasi French rural tourism dan Japanese sixth
industrialization di Indonesia, tetapi tidak dapat dibahas dalam makalah
ini.
Kendati demikian, implementasi French rural tourism
dan Japanese sixth industrialization tetap dapat dilakukan dengan
syarat adanya willingness atau kemauan, baik dari Pemerintah maupun
masyarakat. Kemauan dari Pemerintah mencakup kemauan dalam hal membuat regulasi
dan standardisasi, serta memberikan dukungan material dan nonmaterial. Dukungan
material mencakup dana serta sarana dan prasarana, sementara dukungan
nonmaterial mencakup pengawasan, bimbingan, serta edukasi dan sosialisasi.
Kemudian, kemauan dari masyarakat mencakup kemauan dalam menjadi subjek
perencanaan yang tidak hanya menerima dan menjalankan apa yang direncanakan
Pemerintah, tetapi berperan aktif baik dari tahap perencanaan hingga tahap
implementasi dan evaluasi.
Level kawasan untuk implementasi French rural
tourism dan Japanese sixth industrialization adalah kabupaten/kota,
dengan kabupaten/kota tersebut dibagi-bagi ke dalam sejumlah wilayah
pengembangan (WP) atau subwilayah kota (SWK) berdasarkan industri yang dibangun
yang akan menjadi integrasi industri agrikultura jika dilihat dari level
kabupaten/kota. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan jika level kawasan
untuk implementasi French rural tourism dan Japanese sixth
industrialization adalah provinsi, dengan setiap kota/kabupaten di dalamnya
diarahkan menjadi pusat industri tertentu.
Perencanaan tata ruang di Indonesia sendiri biasanya
didasarkan pada visi dan kebijakan perencanaan program pembangunan strategis
daerah. Sebagai contoh, pelaksanaan pembangunan daerah Provinsi Bali dalam
jangka menengah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Provinsi Bali Tahun 2013-2018 dengan visi ”Bali Mandara” (Bali yang Maju, Aman,
Damai, dan Sejahtera) Jilid II. Berbagai program diturunkan melalui visi dan
kebijakan perencanaan program pembangunan strategis daerah.
Dalam merencanakan tata ruang di Indonesia, salah satu
komponen kuncinya adalah partisipasi masyarakat. Peluang aspirasi masyarakat
dilakukan secara teknokratik dengan pendekatan bottom-up lewat proses musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang). Dalam proses ini, pemangku kepentingan
pemerintah dan masyarakat berdiskusi dan mencapai kesepakatan tentang kebijakan
pengembangan masyarakat. Pemerintah kabupaten/kota harus menggunakan hasil dari
proses musrenbang, bersama dengan rencana sektoral, untuk menghasilkan rencana
pembangunan daerah dan mengalokasikan sumber pendanaan untuk melaksanakan ini. Pendanaan
biasanya bersumber dari APBN, APBD, dan/atau sumber dana sah lainnya. Rencana
kabupaten kemudian dipertimbangkan dalam proses musrenbang tingkat provinsi,
hasil yang akan digunakan dalam rencana pembangunan provinsi, dan selanjutnya
proses anggaran nasional.
Adapun stakeholder yang terlibat dalam
perencanaan tata ruang Indonesia, beserta peran masing-masing stakeholder,
adalah sebagai berikut:
Tabel 1.
Struktur Pembagian Peran Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan Masyarakat
Stakeholder |
Peran |
Pemerintah pusat · Pokja nasional terkait pertanian · Kementerian terkait |
· Peraturan perundangan dan kebijakan nasional
penyelenggaraan integrasi industri agrikultura · Penganggaran, monitoring, supervisi, pengembangan
kapasitas, dll |
Pemerintah provinsi · SKPD Provinsi · Dinas Pertanian Provinsi |
· Kelembagaan pokja terkait · Dukungan ke pemerintah kota/kabupaten, misal terkait
koordinasi, sinkronisasi, dll · Pendanaan dan pemrograman di APBD |
Pemerintah kota/kabupaten · SKPD Kota/Kabupaten · Dinas Pertanian Kota/Kabupaten · Forum pengembangan pertanian |
· Peraturan daerah · Kelembagaan pokja terkait · Dokumen strategis dan perencanaan · Pendanaan dan pemrograman di APBD · Pelaksana kegiatan penataan kawasan · Dukungan ke masyarakat, misal informasi kebijakan,
apresiasi partisipasi, koordinasi, dll |
Masyarakat dan
swasta/dunia usaha |
· Perencanaan partisipatif · Integrasi perencanaan ke dokumen strategis dan
perencanaan · Penguatan kelembagaan, seperti penguatan kapasitas
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Pemerintah Kelurahan/Desa · Pelaksanaan kegiatan investasi infrastruktur
peningkatan kualitas tingkat komunitas |
Sumber:
Hasil Analisis (2022), diolah dari Perkim.id (n.d)
Kendati demikian, perlu ditinjau kembali apakah setiap stakeholder yang terlibat dalam perencanaan tata ruang Indonesia telah optimal dalam menjalankan perannya masing-masing atau ada yang masih dapat ditingkatkan.
C.
KAJIAN
LITERATUR
a.
Konsep French
Rural Tourism
Prancis adalah tujuan wisata terbesar di dunia. Wisata
perdesaannya telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, dan menjadi
produk wisata terbesar kedua di Prancis. Perdesaan sendiri identik dengan
pertanian karena kawasan perdesaan sendiri ialah wilayah dengan kegiatan utama
pertanian. Pengembangan wisata perdesaan di Prancis dimulai sejak 1970-an
dengan membentuk model manajemen yang komprehensif serta sistem standar dan
norma industri selama beberapa dekade. Wisata pedesaan Prancis tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap pembangunan pertanian. Sebaliknya,
pertanian ikut berkembang dan produksi sangat terkonsentrasi. Lewat pariwisata
perdesaan, terjadi pemasaran langsung produk pertanian dan warisan budaya yang
dilindungi. Pariwisata perdesaan memainkan peran penting untuk memecahkan masalah
kelangsungan hidup pertanian serta mendorong pembangunan ekonomi, masyarakat,
dan budaya yang berkelanjutan.
Terdapat lima hal yang dilakukan Prancis dalam French
rural tourism sehingga implementasi konsep tersebut berhasil memberikan
dampak positif yang signifikan. Pertama, pelestarian kearifan lokal.
Pemerintah Prancis merumuskan peraturan yang ketat tentang pengelolaan wisata
perdesaan. Sebagai contoh, peternakan yang menawarkan layanan makanan dan
minuman harus menggunakan produk pertanian lokal dan metode memasak asli khas
setempat. Penampilan pertanian juga harus sesuai dengan kebiasaan setempat, bahkan
sekecil peralatan makan harus dibuat dengan bahan yang representatif. Peraturan
ini menjaga keaslian dan keunikan daerah pedesaan untuk menonjolkan
karakteristik pertanian dan menghindari persaingan yang homogen.
Kedua,
efisiensi regulasi mandiri industri. Ada sejarah panjang tentang kerja sama
antara pemerintah Perancis dan asosiasi industri di desa pariwisata yang telah
dimulai sejak awal wisata perdesaan. Pihak yang berperan merumuskan aturan,
tata pemerintahan, dan standar kualitas industri adalah pihak industri sendiri.
The Agricultural Chambers adalah asosiasi profesional publik semi resmi yang penting
antara pemerintah Prancis dan para petani. Tidak hanya membantu Pemerintah
dalam memberikan pembinaan dan pelatihan kepada petani, tetapi juga menjadi
perwakilan bagi petani untuk bernegosiasi dengan pemerintah.
Ketiga, sistem
pemasaran yang komprehensif. Pariwisata lokal akan dipromosikan di kota-kota
besar, termasuk di negara tetangga, menggunakan berbagai saluran promosi yang
meliputi website, surat kabar, majalah, serta kerja sama dengan biro
perjalanan agar dapat menarik lebih banyak pengunjung. Di sisi lain, komunikasi
dengan pengunjung yang pernah datang juga dijaga lewat kartu keanggotaan, surat
elektronik, dan layanan berkualitas tinggi.
Keempat,
dukungan hukum dan regulasi. Pariwisata perdesaan Prancis selalu berada di
bawah peraturan pemerintah, dan badan utama pariwisata perdesaan Prancis.
Pemerintah telah merumuskan kebijakan dan pedoman umum tentang pengembangan
desa wisata, sementara asosiasi industri diarahkan untuk merumuskan norma-norma
industri, serta mengumpulkan data dan melaporkan analisis statistik data. Hukum
dan regulasi juga meliputi perlindungan situs bersejarah dan bangunan
tradisional. Peraturan dan standar yang ketat juga dibuat untuk kualitas akomodasi,
yang mencakup kualitas layanan dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, undang-undang
perburuhan juga menetapkan semua pekerja formal memiliki 30 hari cuti yang
mendorong mereka melakukan perjalanan
saat liburan, utamanya perjalanan ke desa wisata.
Terakhir, dukungan finansial. Untuk mempromosikan pengembangan pariwisata perdesaan, Pemerintah Prancis menetapkan kebijakan perpajakan dan subsidi keuangan untuk pariwisata perdesaan. Pada tahun 1955, Pemerintah Prancis mengeluarkan rencana pemberian dukungan keuangan bagi petani untuk mempromosikan pemeliharaan dan perbaikan tempat tinggal bergaya tradisional. Rumah pertanian yang memenuhi syarat bisa mendapatkan subsidi keuangan pemerintah. Pajak pertambahan nilai untuk makanan di Prancis hanya 5,5% dan pajak pekerjaan di hotel dan restoran dihapuskan. Pemerintah Prancis juga mengalokasikan 53 juta euro untuk membangun jalan raya sebagai infrastruktur menuju atraksi wisata perdesaan dari tahun 2000 hingga 2006. Perlindungan dan pengembangan sumber daya pariwisata telah menjadi fungsi penting bagi Prancis.
b.
Konsep Japanese
Sixth Industrialization
Japanese sixth industrialization dikemukakan pada 1990-an dan berasal dari penjumlahan
1+2+3=6 (sixth) yang merepresentasikan industri primer (1), industri
sekunder (2), dan industri tersier (3). Interaksi antara ketiga industri
tersebut digabungkan dan dikembangkan untuk membentuk rantai industri pertanian
yang utuh melalui pengembangan terpadu produksi pertanian, pengolahan,
penjualan dan jasa yang dapat memperpanjang rantai nilai ekonominya. Japanese
sixth industrialization bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bagi
petani lewat perluasan rantai industri pertanian dan transformasi struktur
pertanian. Japanese sixth industrialization sejauh ini telah
menghasilkan peningkatan daya saing produk, perluasan fungsi pertanian, dan
peningkatan pendapatan petani.
Terdapat empat ciri penting dari Japanese sixth
industrialization. Pertama, kerja sama yang erat antara sektor pertanian,
industri, dan bisnis. Pemerintah Jepang bertujuan untuk mempromosikan pertanian
dengan dukungan industri dan perdagangan berdasarkan tata pengelolaan yang
relevan. Usaha kecil dan menengah dapat memanfaatkan sektor manufaktur untuk memproses
produk pertanian lewat peningkatan kerja sama yang kemudian meningkatkan nilai
produk secara keseluruhan. Tujuan pemerintah Jepang adalah untuk mengarahkan
produsen pertanian sebagai entitas bisnis utama, bukan untuk menggabungkan
pertanian dengan industri dan bisnis. Oleh karena itu, proporsi modal dalam
industri dan bisnis tidak boleh melebihi 49% untuk memastikan petani dapat memperoleh
hasil yang lebih banyak dari integrasi industri sehingga pendapatan mereka
dapat meningkat.
Kedua,
konsumsi lokal produk lokal. Inti dari Japanese sixth industrialization adalah
mewujudukan konsumsi lokal produk pertanian lokal. Poin kunci pertama adalah
bahwa produk lokal digunakan sebagai bahan baku daripada produk impor, dan poin
kedua adalah proses pengolahan produk dilakukan di pabrik pengolahan lokal. Mulai
dari pengolahan, peredaran, hingga konsumsi, semua terinternalisasi di daerah
setempat.
Ketiga, inovasi
teknologi dan promosi merek. Pemerintah Jepang mendorong penelitian dan
pengembangan teknologi inovasi pertanian. Pemerintah Jepang juga mendorong perlindungan
hak kekayaan intelektual, pengembangan bio-energi, dan penggunaan energi
terbarukan di daerah perdesaan.
Terakhir,
sama seperti French rural tourism, dukungan finansial. Setelah tahun
1960-an, Pemerintah Jepang terus meningkatkan investasi dalam pembangunan
infrastruktur perdesaan untuk menyediakan lingkungan dasar bagi Japanese
sixth industrialization. Serangkaian subsidi keuangan, termasuk subsidi
tarif tetap dan subsidi proporsional, telah diterapkan oleh pemerintah Jepang.
Misalnya, subsidi setengah biaya dalam pembelian peralatan dan biaya konstruksi
untuk pengolahan dan penjualan produk pertanian juga diberikan ke peternakan.
Selain itu, perpanjangan jangka waktu pinjaman reformasi pertanian tanpa bunga
dan jumlah maksimum pinjaman juga dilakukan untuk mengurangi tekanan fiskal di perdesaan.
Berdasarkan penjelasan tentang konsep French rural
tourism dan Japanese sixth
industrialization, diketahui bahwa pengembangan terpadu industri primer,
sekunder, dan tersier merupakan pendekatan penting untuk memperluas kesempatan
petani meningkatkan pendapatan, serta untuk membangun sistem industri pertanian
modern (Liu & Wang, 2016). Ini juga merupakan persyaratan mutlak untuk
mempercepat transformasi metode pembangunan pertanian dan mengeksplorasi
modernisasi pertanian Indonesia.
Selain itu, integrasi industri pertanian juga merupakan
langkah besar untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi dan sosial.
Transformasi metode pembangunan pertanian akan dipercepat dan diinovasikan
secara terintegrasi. French rural tourism dan Japanese sixth
industrialization telah memberikan kontribusi pada integrasi pertanian
lokal, juga pada industri sekunder dan tersier pada tingkat tertentu (Yuan
& Dong, 2011). Integrasi industri pertanian juga berperan penting dalam
perluasan rantai industri, peningkatan pendapatan petani, dan peningkatan
kesejahteraan daerah.
Sebagai tujuan wisata terbesar di dunia, pengalaman pembangunan Prancis dalam integrasi industri patut dipelajari. Sementara itu, banyak pula kesamaan dalam sumber daya geografis dan pertanian antara Indonesia dan Jepang. Oleh karena itu, pengalaman integrasi industri dari Prancis dan Jepang sangat berarti untuk mendorong integrasi dan pengembangan integrasi industri pertanian di Indonesia.
D.
ANALISIS
Dari pengalaman
pembangunan Perancis dan Jepang, promosi pembangunan dalam integrasi industri
harus menggabungkan kondisi aktual lokal dan memanfaatkan potensi lokal.
Pendekatan bottom-up harus dilakukan dan multifungsi pertanian harus
digalakkan. Berikut adalah komparasi antara penerapan French rural tourism dan
Japanese sixth industrialization dengan penerapan Simantri di Bali,
Indonesia.
a.
Dukungan Pemerintah
dari Kebijakan Fiskal dan Manajemen Perencanaan
Baik Prancis dan
Jepang telah merumuskan rencana yang sesuai untuk memandu integrasi industri
perdesaan dalam perspektif strategis. Bentuk-bentuk insentif fiskal, subsidi
dan pinjaman tanpa bunga dilaksanakan untuk merangsang perkembangan berbagai
badan usaha. Undang-undang, peraturan, dan berbagai kebijakan terkait
dirumuskan oleh pemerintah pusat untuk menjamin pengembangan integrasi industri
pedesaan. Selain itu, kebijakan lokal dirumuskan untuk bekerja sama dengan
kondisi yang ada untuk memandu pengembangan otonomi semua daerah perdesaan.
Simantri pada
dasarnya adalah integrasi vertikal dan horizontal kegiatan usaha tani di
tingkat lokal, mulai dari proses perencanaan, perumusan kebijakan hingga
implementasi. Strategi yang dilakukan oleh gubernur adalah untuk mensinergikan
program-program pemerintah pusat dari masing-masing kementerian yang ada, BUMN,
lembaga, dan pelaku ekonomi lainnya, baik yang mempunyai kegiatan usaha di
wilayah Provinsi Bali maupun bagi yang akan melakukan investasi dalam kaitan
mendukung program pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemprov Bali.
Diversifikasi usaha
tani juga dibangun untuk mendukung kelembagaan Simantri. Diversifikasi usaha tani
secara horizontal pada dasarnya mengusahakan beberapa komoditas secara terpadu,
yaitu tumpang sari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan,
perikanan dan bahkan kehutanan (agroforestry). Sementara itu,
diversifikasi usaha tani secara vertikal dilakukan dengan mengembangkan unit
pelayanan sarana produksi dan lembaga keuangan mikro, melaksanakan
intensifikasi dan ekstensifikasi usahatani, serta mengolah dan memasarkan hasil
dan pengolahan/pemanfaatan hasil ikutan (biourin, biogas, kompos, pakan,
bioarang, asap cair, jamur, lebah madu, susu, sabun dari susu, dan lain-lain).
Konsep pertanian
integrasi yang dilaksanakan melalui program Simantri di Provinsi Bali mendapat
dukungan pendanaan, fasilitasi, dan komitmen politik pimpinan daerah yang
begitu besar melalui kebijakan sinergisitas program strategis daerah dan
penganggaran yang berkelanjutan. Gagasan program Simantri diarahkan untuk
mendorong peningkatan kesejahteraan petani, pengentasan kemiskinan, dan
pengangguran serta keterkaitan dengan program lain dalam rangka membangun
ekonomi perdesaan ke depan secara berkelanjutan.
Memang, keberhasilan
dukungan pemerintah dari kebijakan fiskal dan manajemen perencanaan di Bali,
Indonesia lewat program Simantri yang diasumsikan sama berhasilnya dengan
Prancis yang menggunakan French rural tourism dan Jepang yang
menggunakan Japanese sixth industrialization tidak dapat dipukul rata ke
seluruh Indonesia. Namun, pemerintah pusat yang sama antara Bali dengan daerah
lain di Indonesia memungkinkan daerah lain juga memperoleh dukungan yang sama.
Pemerintah harus meningkatkan investasi dalam pembangunan infrastruktur dasar
di daerah pedesaan, menstandardisasi subsidi keuangan pertanian, dan memudahkan
prosedur pemodalan.
Prancis telah menetapkan peraturan manajemen yang ketat untuk menghindari persaingan akibat produk serupa. Pengembangan industri perdesaan terpadu perlu diarahkan untuk mencerminkan sejarah, budaya, dan karakteristik lokal daerah tersebut. Selain itu, ditekankan pula, misalnya di restoran, terkait penggunaan produk pertanian lokal dan metode memasak untuk mempromosikan "penjualan langsung" produk pertanian, yang sesuai dengan tujuan Japanese sixth industrialization yang menekankan "konsumsi lokal produk lokal".
Sama halnya di Bali, produk-produk Simantri seperti
pupuk organik, beras, buah-buahan, dan sayuran organik dikoordinasikan dengan
kebutuhan pemenuhan pupuk, kebutuhan konsumsi beras di pasar lokal, pasokan
restoran, dan pegawai negeri lingkup pemprov. Beberapa hotel dan restoran
diwajibkan membeli produk pertanian yang dihasilkan oleh Gapoktan Simantri.
Lembaga-lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank, diminta berperan serta
menyediakan pendanaan bagi usaha Simantri, di samping kerja sama inovasi
teknologi yang dibuka dengan lembaga yang kompeten untuk pengembangan limbah
ternak menjadi pupuk organik, biourin, biogas serta produk lain dari
desa/Gapoktan Simantri.
Pada tahap penyusunan konsep Simantri, Pemprov Bali
melibatkan peran Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) sebagai penanggung
jawab inovasi teknologi untuk mendukung pola integrasi tanaman dan ternak,
termasuk muatan untuk penyusunan konsep kelembagaan (agribisnis) yang akan
diintroduksikan. Dengan demikian, Simantri adalah upaya terobosan untuk
mempercepat adopsi teknologi pertanian karena merupakan pengembangan model
percontohan dalam percepatan alih teknologi kepada masyarakat perdesaan.
Kendati tidak disebutkan adanya persaingan homogen
yang serius serta isu kesamaan dan
kemonotonan produk, pada program Simantri ditemukan persoalan terbatasnya
penggalian potensi pasar dan diversifikasi usaha kelompok/gapoktan melalui
motivasi ketua gapoktan atau ketua poktan. Hal ini patut dipertimbangkan secara
serius menimbang beberapa desa/gapoktan yang mempunyai motivasi dan telah
membangun komunikasi melalui hubungan kerja dengan relasi yang luas, telah
terbukti berhasil mengembangkan kegiatan diversifikasi usaha Simantri dalam
sistem agribisnis yang lebih berkembang, terutama bagi pemasaran produk Simantri
yang dihasilkannya. Jika seluruh beberapa desa/gapoktan melakukan hal serupa.
c.
Partisipasi
Aktif Petani
Di Prancis, semua pengembang pertanian dan penduduk perdesaan
memiliki tingkat partisipasi tertinggi. Sementara itu, Jepang mensyaratkan
bahwa bagian modal industri dan komersial tidak boleh melebihi 49% untuk
melindungi kepentingan petani. Oleh karena itu, petani dapat memperoleh dividen
yang diperluas dari rantai industri pertanian sehingga tingkat pendapatan
meningkat.
Petani Indonesia dapat didorong untuk benar-benar
berpartisipasi dalam pengembangan integrasi industri di pedesaan. Selama ini, upaya
untuk mensosialisasikan dan menumbuhkan peran serta dan aspirasi masyarakat
dalam pembangunan dilakukan melalui berbagai kegiatan, termasuk kegiatan simakrama
atau dialog terbuka dengan seluruh lapisan masyarakat berkaitan dengan
program-program pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemprov Bali. Selain upaya
sosialisasi dan dialog terbuka, penting untuk memperbaiki mekanisme keterkaitan
kepentingan dan mengefisienkan rantai komando dalam pertanian. Mekanisme
keterkaitan mendorong masuknya modal industri dan komersial menggunakan
keunggulan modal, teknologi, dan konsep manajemen untuk mendorong partisipasi
produsen pertanian dalam pengembangan integrasi industri pedesaan.
Simantri sendiri telah mengintegrasikan kegiatan
sektor pertanian dengan sektor pendukungnya, baik secara vertikal maupun
horizontal sesuai potensi masing-masing wilayah dengan mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya lokal yang ada. Inovasi teknologi yang diintroduksikan
berorientasi untuk menghasilkan produk pertanian organik dengan pendekatan
”pertanian tekno-ekologis”. Kegiatan integrasi yang dilaksanakan juga
berorientasi pada usaha pertanian tanpa limbah (zero waste) dan menghasilkan
4F (food, feed, fertilizer, dan fuel). Kegiatan
utama Simantri adalah mengintegrasikan usaha budi daya tanaman dan ternak. Limbah
tanaman diolah untuk pakan ternak dan cadangan pakan pada musim kemarau dan
limbah ternak diolah menjadi biogas, biourin, pupuk organik, dan biopestisida.
Terkait bentuk kelembagaan, untuk saat ini, pengembangan pertanian di Indonesia belum memerlukan struktur kelembagaan baru. Kelembagaan petani seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau korporasi masih sangat relevan. Namun, yang paling penting lembaga tani tersebut harus dapat memperkuat posisi tawar petani.
d.
Pembentukan
Sistem Swaregulasi Petani
Baik Prancis maupun Jepang telah merumuskan standar
kualitas produk pertanian dan kualitas layanan secara rinci untuk memandu
pengembangan standar. Di Indonesia sendiri, standar diatur menggunakan Standar
Nasional Indonesia (SNI), salah satunya SNI 6729:2013 tentang Sistem Pertanian
Organik. Workshop-workshop diadakan agar masyarakat, khususnya petani, mengetahui
dan memahami pentingnya penggunaan
standar dalam setiap pengolahan pertanian.
Kendati demikian, upaya standardisasi ini juga
memiliki hambatan. Tantangan dasar standardisasi adalah menyediakan kerangka
kerja untuk sertifikasi nasional dan regional sambil berusaha tetap tanggap
terhadap kondisi lokal (Abbas dkk, 2019). Badan-badan standardisasi juga harus
mendapat akreditasi dari pemerintah.
Kekuatan sertifikasi adalah terjaminnya suatu produk
karena telah memenuhi seluruh kaidah yang disyaratkan. Keuntungan yang
didapatkan ada pada pihak produsen dan konsumen. Produsen memiliki posisi tawar
yang lebih baik pada barang yang diproduksinya, sedangkan konsumen memiliki
kepastian/jaminan terhadap barang/produk yang dikonsumsi. Namun, sertifikasi juga
masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sehingga pernyataan mengenai
kualitas produk harus disampaikan langsung oleh produsen pada konsumennya.
Kendala lainnya, peluang pasar produk pertanian
organik di dalam negeri masih sangat kecil. Penggunaan produk organik masih
terbatas pada kalangan menengah ke atas. Hal tersebut disebabkan kurangnya
informasi tentang pentingnya produk organik bagi kesehatan, tidak ada jaminan
mutu, dan standar kualitas organik dan harga produk pangan organik masih
tergolong mahal. Produk dari Indonesia juga belum banyak yang dapat bersaing di
pasar global. Kendati demikian, potensi produk pertanian organik juga terlihat,
tampak dari tren pangan organik juga mulai merambah ke rumah makan, hotel,
restoran, dan catering yang menyediakan menu organik. Untuk itu,
diperlukan perumusan rinci standar industri seperti hotel, restoran, hiburan
dapat memberikan sarana tindakan bagi petani terkait dengan undang-undang dan
kebijakan.
e.
Pendanaan
dan Investasi
Untuk mempromosikan pengembangan pariwisata perdesaan,
Pemerintah Prancis menetapkan kebijakan perpajakan dan subsidi keuangan untuk
pariwisata perdesaan. Sementara itu, setelah tahun 1960-an, Pemerintah Jepang
terus meningkatkan investasi dalam pembangunan infrastruktur perdesaan untuk
menyediakan lingkungan dasar bagi Japanese sixth industrialization.
Dalam konsep Simantri disebutkan bahwa pada tahap awal
kegiatan pendanaan program disediakan oleh Pemprov Bali dalam bentuk paket
kegiatan. Paket kegiatan utama Simantri pada tahap awal meliputi pengembangan
komoditas tanaman pangan, peternakan, perikanan dan intensifikasi perkebunan
sesuai potensi wilayah; pengembangan ternak sapi atau kambing dan kandang
koloni; bangunan instalasi biogas; bangunan instalasi biourin; bangunan
pengolah kompos dan pengolah pakan; serta pengembangan tanaman kehutanan sesuai
kondisi dan potensi masing-masing wilayah
Paket utama Simantri dibiayai dari dana Bantuan Sosial (Bansos) APBD Provinsi. Untuk kegiatan penunjang, termasuk dalam pengembangan infrastruktur perdesaan, pembiayaan diperoleh dari kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait di Provinsi Bali dan Pemkab/Pemkot, sesuai dengan ketersediaan dana dan program kegiatan masing-masing SKPD. Dalam jangka panjang juga diharapkan peran serta swasta dalam bentuk coorperate social responsibility (CSR).
Dilihat dari seluruh penjelasan di atas, berikut
adalah tabel SWOT dan matriks TOWS terkait integrasi industri agrikultura di
Indonesia yang mengidentifikasi masalah dan potensi, baik dari pemangku
kepentingan maupun dari kinerja penataan ruang selama ini.
Tabel 2.
SWOT Integrasi Industri Agrikultura
Indonesia
Strength |
Weakness |
·
Adanya benchmark
konsep dasar Simantri yang telah sangat baik, baik dari konsep
integrasi/pemaduan sektor-sektor pertanian dalam arti luas hingga konsep zero
waste; ·
Potensi
peningkatan produktivitas tanaman dari pola integrasi tanaman-ternak; ·
Adanya dukungan
dari pemerintah, baik regulasi maupun modal materiil dan nonmateriil. |
·
Rusak atau
tidak berfungsinya sarana dan prasarana terkait; ·
Kurangnya jiwa
kewirausahaan masyarakat; ·
Kurang taatnya
masyarakat terhadap aturan atau prosedur yang telah ditetapkan; ·
Ketergantungan
pada pendanaan dari Pemerintah. |
Opportunity |
Threat |
·
Globalisasi
mempermudah kolaborasi dan kerja sama dengan pihak baik di dalam maupun di
luar Indonesia. |
·
Globalisasi
mendorong pemasaran produk lintas negara, menyebabkan produk saingan bukan
hanya dari Indonesia, tetapi juga produk impor. |
Sumber:
Hasil Analisis (2022)
Tabel 3.
TOWS Integrasi Industri Agrikultura
Indonesia
|
Strength |
Weakness |
Opportunity |
· Memaksimalkan sumber daya yang ada, baik alam maupun
manusia, lewat kolaborasi dengan berbagai pihak; · Memasukkan program ke dalam dokumen rencana. |
· Mengadaptasi benchmark yang terkait,
khususnya dari negara lain, untuk dijadikan solusi. |
Threat |
· Fokus produksi lokal untuk konsumsi lokal, lalu
merancang strategi untuk go international memanfaatkan produksi yang
meningkat. |
· Meningkatkan inovasi dan implementasinya untuk
mengatasi setiap kelemahan dan ancaman yang ada. |
Sumber:
Hasil Analisis (2022)
Dapat diidentifikasi
pula pemangku kepentingan yang belum optimal dan cara mengoptimalkannya, yaitu
sebagai berikut:
1.
Pemerintah, baik
pusat maupun daerah provinsi/kabupaten/kota, perlu mengoptimalkan perannya
dalam menetapkan regulasi dan standardisasi dalam integrasi industri
agrikultura; sosialisasi dan edukasi terkait regulasi dan standardisasi
tersebut; dukungan pelaksanaan regulasi dan standardisasi tersebut, baik
materiil maupun nonmateriil; serta pengawasan pelaksanaan regulasi dan standardisasi
tersebut; dengan menggunakan pendekatan bottom-up untuk memastikan
partisipasi masyarakat dan/atau kelompok pertanian terkait. Regulasi dan
standardisasi yang perlu di-highlight adalah produksi dan konsumsi
lokal, serta pariwisata lokal dalam kaitannya untuk mempromosikan hasil
pertanian; dan
2.
Masyarakat perlu
meningkatkan semangat dan kemampuan eksplorasi, kolaborasi, dan kewirausahaan,
menimbang hal-hal tersebut penting dalam mewujudkan integrasi industri
agrikultura; memperhatikan dan mengikuti regulasi dan standardisasi yang telah
ditetapkan oleh pemerintah; serta menyuarakan aspirasi dan inovasinya kepada
pemerintah.
Melalui visi dan
kebijakan perencanaan program pembangunan strategis daerah untuk “Bali Mandara”,
program Sistem Pertanian Terintegrasi atau lebih dikenal dengan Simantri
didukung sepenuhnya oleh Pimpinan Daerah dan dijadikan model pembangunan
pertanian daerah di Provinsi Bali. Program Simantri pada dasarnya adalah
integrasi vertikal dan horizontal kegiatan usaha tani di tingkat lokal, mulai
dari proses perencanaan, perumusan kebijakan, hingga implementasi.
Berkaca dari
Simantri, faktor-faktor yang penting untuk mewujudkan keberhasilan program
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Komitmen pimpinan
daerah dan jajarannya;
2.
Adanya jiwa kewirausahaan
dan partisipasi aktif masyarakat sebagai subjek perencanaan;
3.
Dimasukkannya
program tersebut ke dalam rencana pembangunan, seperti RPJMD maupun RPJM,
utamanya jika program tersebut perlu didukung penguatan dan keberlanjutannya.
Dari penerapan pola sistem integrasi industri
pertanian, diketahui setidaknya terdapat delapan keuntungan sebagai berikut:
1.
Diversifikasi
penggunaan sumber daya produksi;
2.
Pengurangan risiko
usaha;
3.
Efisiensi
penggunaan tenaga kerja;
4.
Efisiensi
penggunaan input produksi;
5.
Pengurangan ketergantungan
energi kimia dan biologi serta masukan sumber daya lainnya;
6.
Pelestarian sistem
ekologi lebih lestari dan peningkatan level keramahan lingkungan;
7.
Peningkatan output;
dan
8.
Pengembangan
rumah tangga petani yang berkelanjutan.
Sejalan dengan hal
tersebut, program Simantri di Bali sendiri mencapai keberhasilan terciptanya
usahatani produktif in situ, meningkatnya lapangan kerja melalui pengembangan
diversifikasi, serta berkembangnya lembaga usaha ekonomi perdesaan yang
bermuara pada peningkatan pendapatan petani. Keberhasilan-keberhasilan tersebut
selaras dengan keberhasilan dari implementasi French rural tourism dan Japanese
sixth industrialization.
E.
KESIMPULAN
DAN REKOMENDASI
Persoalan integrasi agrikultur di Indonesia dapat dilihat
dari aspek-aspek berikut: kedudukan dan peran daerah dalam konteks wilayah,
sosial kependudukan, ekonomi wilayah, kelembagaan dan pembiayaan, serta sarana
dan prasana. Dari aspek kedudukan dan peran daearah dalam konteks wilayah,
diketahui bahwa masih terdapat ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan. Dari
aspek sosial kependudukan, kesejahteraan dan partisipasi petani perlu
dikuatkan. Dari aspek ekonomi wilayah, kawasan pertanian dapat didorong untuk
dimaksimalkan potensinya dan memberikan keuntungan ekonomi yang memberikan multiplier
effect bagi ranah lainnya. Dari aspek kelembagaan dan pembiayaan, perlu
ditinjau apakah kelembagaan yang terlibat telah menjalankan masing-masing
perannya dengan optimal dan apakah skema pembiayaan yang terjadi saat ini sudah
memadai. Terakhir, dari aspek sarana dan prasarana, perlu dipastikan apakah
sarana dan prasarana yang ada telah cukup untuk pelaksanaan integrasi industri
agrikultura.
Konsep French rural tourism dan Japanese
sixth industrialization dapat mengatasi persoalan penataan agrikultur di
Indonesia karena terdapat kesamaan kondisi antara Indonesia dengan Jepang dan
Prancis, dimulai dari adanya permasalahan urbanisasi yang meningkatkan
ketimpangan, serta adanya upaya untuk mendorong pembangunan dari ranah
pertanian dan perdesaan, yang menjadi keunggulan dalam adaptasi konsep-konsep
tersebut di Indonesia. Selain itu, konsep French rural tourism dan Japanese
sixth industrialization merupakan konsep integrasi yang bersifat general.
Artinya, meskipun terdapat sejumlah perbedaan kondisi dengan Indonesia, konsep
dari Jepang dan Prancis ini tetap dapat diterapkan di Indonesia dengan
menyesuaikan kondisi Indonesia. Implementasi tersebut dapat dilakukan dengan
syarat adanya willingness atau kemauan, baik dari Pemerintah maupun
masyarakat. Kemauan dari Pemerintah mencakup kemauan dalam hal membuat regulasi
dan standardisasi, serta memberikan dukungan material dan nonmaterial. Dukungan
material mencakup dana serta sarana dan prasarana, sementara dukungan
nonmaterial mencakup pengawasan, bimbingan, serta edukasi dan sosialisasi.
Kemudian, kemauan dari masyarakat mencakup kemauan dalam menjadi subjek
perencanaan yang tidak hanya menerima dan menjalankan apa yang direncanakan
Pemerintah, tetapi berperan aktif baik dari tahap perencanaan hingga tahap
implementasi dan evaluasi.
Jika konsep French rural tourism dan Japanese
sixth industrialization diterapkan di Indonesia, poin-poin yang perlu
diperhatikan adalah (a) pelestarian kearifan lokal serta konsumsi lokal produk
lokal; (b) efisiensi regulasi mandiri industri; (c) sistem pemasaran yang
komprehensif lewat kerja sama yang erat antara sektor pertanian, industri, dan
bisnis; (d) inovasi teknologi dan promosi merek; (d) dukungan hukum dan
regulasi; dan (f) dukungan finansial. Pengembangan
terpadu industri primer, sekunder, dan tersier merupakan pendekatan penting
untuk memperluas kesempatan petani meningkatkan pendapatan, serta untuk membangun
sistem industri pertanian modern.
Best practices
integrasi agrikultur di Indonesia jika dilihat dari Sistem Pertanian
Terintegrasi (Simantri) di Bali, Indonesia, seluruh poin-poin tersebut telah
tampak pemenuhannya: dukungan pemerintah dari kebijakan fiskal dan manajemen
perencanaan, pelestarian kearifan lokal, partisipasi aktif petani, pembentukan
sistem swaregulasi petani, serta pendanaan dan investasi. Kendati demikian,
lewat analisis menggunakan matriks TOWS, diketahui strategi yang dapat
digunakan untuk mewujudkan integrasi industri agrikultura Indonesia adalah
dengan memaksimalkan sumber daya yang ada, baik alam maupun manusia, lewat
kolaborasi dengan berbagai pihak; memasukkan program ke dalam dokumen rencana;
mengadaptasi benchmark yang terkait, khususnya dari negara lain, untuk
dijadikan solusi; fokus produksi lokal untuk konsumsi lokal, lalu merancang
strategi untuk go international memanfaatkan produksi yang meningkat;
serta meningkatkan inovasi dan implementasinya. Adapun pemangku kepentingan
yang perlu dioptimalkan perannya adalah pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun daerah, dan masyarakat. Selain melihat pemangku kepentingan, diketahui
pula faktor-faktor penting untuk mewujudkan keberhasilan integrasi industri
agrikultura adalah komitmen, jiwa kewirausahaan dan partisipasi aktif, serta
pemasukan program dalam rencana pembangunan. Jika intregasi industri
agrikultura berhasil dilakukan, setidaknya manfaat yang akan diperoleh adalah
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, peningkatan produksi dan hasil
olahan komoditas, serta pengembangan ekonomi wilayah.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, B., Kesaulija, H., Hidayat, G., Alua, I.,
Sawaki, M., Rumbewas, L., ... & Rumi, B. (2019). Sistem-Sistem Pertanian
dalam Perspektif Ekosistem.
Agung. (2015). Pembangunan Pertanian Harus
Terintegrasi. Diakses dari https://www.ugm.ac.id/id/berita/10823-pembangunan-pertanian-harus-terintegrasi.
Anugrah, I. S., Sarwoprasodjo, S., Suradisastra, K.,
& Purnaningsih, N. (2014). Sistem pertanian terintegrasi–simantri:
konsep, pelaksanaan, dan perannya dalam pembangunan pertanian di provinsi bali.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik
Indonesia. (2021). Siaran Pers Pertanian sebagai Pilar Perekonomian dan
Menguatkan Ekonomi Umat. Diakses dari https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/3553/pertanian-sebagai-pilar-perekonomian-dan-menguatkan-ekonomi-umat.
Liu, G. B., & and Wang, L.N. (2016). Experience
and Enlightenment of the Development of Rural Industrial Integration in Japan
and South Korea. Jou. Har. Uni. Com, vol.151 pp. 46-52.
Perkim.id. (n.d). Amanat Undang- Undang untuk peran
Stakeholder dalam RP2KPKP. Diakses dari https://perkim.id/rp2kpkp/amanat-undang-undang-untuk-peran-stakeholder/
Yuan, J.W. & Dong, X. (2011). The Narrowing
Experience & Enlightenment of the Urban and Rural Residents Income Gap in East
Asia. Journal of Zhengzhou Institute of Aeronautical Industry Management,
vol.29 pp. 106-108.
Zhu, J., & Lin, N. (2018, September). The
Experience and Enlightenment of the Integration of Rural Industries from France
and Japan. In 2018 4th International Conference on Social Science and Higher
Education.
Komentar
Posting Komentar