- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Tugas ini ditulis untuk mata kuliah KU2061-19 Agama dan Etika Islam Zahra Annisa Fitri (15419031).
Dalam kehidupan, manusia memiliki sejumlah kebutuhan, termasuk kebutuhan biologis. Sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam menetapkan bahwa cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut hanya melalui pernikahan. Namun, al-Qur’an menjelaskan bahwa di antara tujuan pernikahan adalah agar mempelai laki-laki dan perempuan mendapatkan kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan biologis. Lebih dari itu, pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia di mana setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalamnya. Selain memperoleh ketenangan dan kedamain, pernikahan juga ditujukan untuk menjaga keturunan (hifdzu al-nasli). Inilah hikmah disyariatkannya pernikahan dalam Islam.
Islam
memandang bahwa pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dan tujuan utamanya
ialah untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan sunnah Rasulullah.
Pelaksanaannya didasarkan atas keikhlasan, tanggung jawab, serta mengikuti
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Di Indonesia, payung hukum untu
pernikahan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pada Bab 1 Pasal 1, disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir
dan batin seseorang wanita ataupun pria sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Oleh
karena itu, Islam memberikan perhatian yang sangat besar dalam pembentukan
sebuah keluarga karena keluarga merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah
masyarakat yang lebih luas. Mendirikan dan membentuk sebuah keluarga dengan
tujuan mendapatkan sakinah, mawaddah, wa rahmah harus dimulai dengan meletakkan
fondasi Islam yang kokoh sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memberikan petunjuk.
Allah berfirman dalam Q.S. ar-Rum ayat 30 yang artinya, “Bagaimana kamu akan
mengambil kembali padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrinya) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Utsman bin Abi al-Ash
ats-Tsaqafi pernah menasihatkan anak-anaknya untuk meyeleksi benih-benih dan
menghindari keturunan yang jahat. Dia berkata, “Wahai anak-anakku, orang yang
menikah ibarat penanam. Maka hendaklah seseorang memperhatikan tempat untuk
tanamannya.” Umar bin Khattab menjawab salah seorang putranya yang bertanya,
“Apa hak anak atas bapaknya?” dengan kalimat, “Hak anak atas bapaknya adalah
hendaklah bapaknya memilihkan ibunya, memperbagus namanya, dan mengajarkan
al-Qur’an.”
Pemilihan jodoh
(suami-istri) memiliki kedudukan yang sangat penting meskipun hukum Islam tidak
sampai mewajibkan. Karena melalui pemilihan jodoh ini, masing-masing calon bisa
memberikan penilaian dan menimbang-nimbang secara cermat dan saksama tentang
calon (suami-istri) agar dapat mengambil kesimpulan dan keputusan tentang cocok
tidaknya masing-masing calon pasangan itu untuk melangsungkan akad nikah (‘aqdun-nikah).
Rasulullah bersabda,
“Seorang perempuan dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka menangkanlah
wanita yang mempunyai agama, engkau akan menang.” Hadis ini diriwayatkan oleh
Bukhori, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad Ibn Hambal dan
al-Darimi. Hadis ini merupakan pengabaran dari Rasulullah bahwa kebanyakan
laki-laki dalam menikahi perempuan mempertimbangkan empat hal tersebut. Adapun
perintahnya adalah harus mempertimbangkan faktor agama.
Jika dalam diri seorang
perempuan terdapat empat karakter tersebut, ia adalah sosok perempuan yang
paling istimewa. Namun, jika salah satu karakter tersebut tidak ada atau
kurang, tetapi karakter agamanya masih ada, agama akan menutupi hal yang
menjadi kekurangannya. Akan tetapi, sebaliknya, jika yang tidak ada dari
perempuan itu agamanya, kekurangannya itu tidak dapat menutupi kekurangan
lainnya. Bahkan anugerah nikmat dan kelebihan pada diri perempuan itu akan
berubah menjadi bencana.
Buya Hamka
mengumpamakan kekayaan, keturunan, dan kecantikan masing-masing dengan angka
nol, sedangkan agama dengan angka satu. Angka nol berapapun banyaknya tidak
akan bernilai tanpa ada angka satu. Sebaliknya, sekalipun tidak ada angka nol,
angka satu sudah memberikan nilai. Misalnya, wanita salihah dan kaya bernilai
10; wanita salihah, kaya dan keturunan baik-baik bernilai 100; wanita salihah,
kaya, keturunan baik-baik, dan cantik bernilai 1000. Buya Hamka menamakan
teorinya ini dengan teori seribu.
Sekalipun hadis di atas
menggunakan redaksi mudzakar, yakni mempersilahkan seorang pria memilih
calon istrinya, tidak berarti menghalangi kaum perempuan untuk memiliki hak dan
melakukan hal yang sama dalam memilih calon suami. Yusuf Qardhawi menyatakan,
jika pria diharuskan menyelidiki calon isterinya, wanita dan keluarganya pun
hendaknya melakukan hal yang sama. Calon mempelai wanita dan keluarga juga
harus melihat bagaimana akhlak, ketakwaan dan hubungannya dengan Tuhan dan
manusia. Demikian juga halnya, bentuk fisik mempelai pria juga harus diperhatikan
dengan baik.
Selain itu, kafa’ah
adalah unsur lain yang patut diperhatikan pula. Khoiruddin Nasution mengutip
Ibnu Manzur bahwa Kafa’ah berasal dari kata asli al-kuf’u diartikan al-musawi
(keseimbangan). Ketika dihubungkan dengan nikah, kafa’ah diartikan keseimbangan
antara calon istri dan suami dari segi kedudukan, agama, keturunan, dan
semacamnya.
Keseimbangan ini tidak
bermaksud menurunkan derajat seseorang dibandingkan yang lain sebab kalau itu
yang terjadi, jelas-jelas konsep ini bertentangan dengan spirit al-Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut analisis Mu’ammal Hamidy, terdapat dua tujuan pokok dari konsep ini. Pertama,
sebagai usaha untuk nenciptakan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Kedua,
usaha agar dapat menghindari dari kesusahan dan malapetaka perkawinan. Dengan
bertemunya pasangan yang serasi dan sepadan, diharapkan kehidupan keluarga akan
mampu melayarkan roda rumah tangga dengan baik. Sebaliknya, pasangan yang tidak
sepadan dikhawatirkan akan melahirkan rumah tangga yang tidak tentram.
Mengambil keputusan
untuk menikah dengan calon pasangan adalah episode kehidupan yang sangat
penting dan seringkali banyak orang mengalami banyak kesulitan. Jabir bin
Abdullah pernah berkata, Rasulullah mengajari kami untuk beristikharah di semua
perkara seperti halnya beliau mengajarkan kami satu surat dari al-Qur’an. Doa
dan istikharah adalah sarana untuk mendapatkan petunjuk dalam memilih dan
menentukan pasangan ideal.
Untuk saya pribadi,
sebelum merencanakan pernikahan, setelah berdoa, saya akan melakukan sejumlah
ikhtiar. Pertama, menuntut ilmu pernikahan yang diawali dengan
pembahasan di kelas. Lebih lanjut, saya dapat mengikuti kelas pranikah. Kedua,
seraya terus belajar, saya dapat mulai mencari pasangan yang ideal bagi saya.
Merujuk pada pendapat Profesor Zakiah Daradjat sebagia konsultan keluarga, ada
beberapa hal yang harus dilakukan oleh setiap pasangan suami istri, yaitu
saling mengerti, menerima, menghargai, mempercayai, dan mencintai. Oleh karena
itu, selain melihat agama, kafa’ah, serta tiga hal lain yang umumnya dilihat
sebagaimana sabda Rasulullah, saya juga perlu melihat kepribadian calon
pasangan saya. Tentu saya berharapan menemukan calon yang memenuhi lima
kriteria kepribadian yang telah disebutkan: dapat mengerti, menerima, menghargai,
mempercayai, dan mencintai saya. Sebaliknya, saya juga akan melihat apakah dia
adalah sosok yang saya berkenan melakukan hal serupa.
Setelah menikah,
dibutuhkan tanggung jawab semua komponen agar rumah tangga dapat bertahan.
Untuk melaksanakan tangung jawab itu harus didahului dengan memahami dirinya
sendiri. Dengan memahani diri sendiri, akan dapat memahami cara menghadapi
suami/istri dan selanjutnya akan timbul saling pengertian antara satu sama lain
dan pada gilirannya akan dapat menghindari perselisihan dan pertengkaran dalam
rumah tangga. Adanya saling mengerti dalam rumah tangga merupakan dasar pertama
untuk meraih ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarga. Dari sini akan muncul
saling menerima, saling menghargai dan saling mempercayai, selanjutnya muncul
saling mencintai. Cinta dan kasih sayang bukanlah hal yang kekal abadi,
terkadang ia tumbuh dan subur, tetapi terkadang ia juga dapat layu dan bahkan
sirna. Oleh karena itu, harus selalu ada tekad dan usaha sunguh-sungguh dari
setiap penghuninya. Kemudian memahami anggota keluarga yang lainnya yang sering
dikenal dengan adanya saling pengertian yang sungguh-sungguh.
Pada akhirnya, setiap
manusia memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Utamanya dengan bekal
ilmu agama, pernikahan diharapkan menjadi wadah untuk setiap insan saling
melengkapi agar bahtera rumah tangga dapat terus berlayar, kemudian melahirkan
generasi emas sebagai generasi berikutnya.
Referensi
Atabik, A., & Mudhiiah, K. (2016). Pernikahan dan
Hikmahnya Perspektif Hukum Islam. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum
Islam, 5(2).
Olfah, H. (2019). Keluarga Ideal (Menurut Prof. Dr. Zakiah
Daradjat). An-Nahdhah, 12(2), 201-224.
Paryadi, P. (2015). MEMILIH JODOH DALAM ISLAM. Waratsah,
1(1).
Pratiwi, A. R. 2020. Memilih Pasangan yang Ideal dalam
Perspektif Islam. Lampung: Institut Agama Islam Negeri Metro.
Qadrunnada, K. Pasangan Ideal Menurut al-Qur‟ an
(Kajian QS. al-Nūr ayat 26 dan QS. al-Taḥrīm ayat 10-11) (Bachelor's
thesis).
Zaki, A. A. Konsep Pra-Nikah dalam Al-Quran (Kajian
Tafsir Tematik) (Bachelor's thesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2017).
Komentar
Posting Komentar