- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Abstrak
Taifun Man-yi yang menghantam Jepang pada September 2013 menyebabkan banjir bandang yang merusak Distrik Arashiyama, Prefektur Kyoto. Padahal, Arashiyama merupakan salah satu destinasi wisata nasional di Jepang. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini ialah swift recovery mendukung tourism recovery di Arashiyama, Kyoto, Jepang. Penelitian ini bertujuan untuk (a) menjabarkan efektivitas swift recovery, (b) menganalisis faktor-faktor penyebab efektivitas keberjalanan swift recovery; (c) menganalisis aktor-aktor yang berperan dalam keberjalanan swift recovery, serta (d) menjelaskan peran disaster countermeasure dalam tourism recovery di Arashiyama. Metode analisis yang digunakan adalah tinjauan literatur dari artikel utuh berbahasa Indonesia, Inggris, atau Jepang dengan kata kunci "嵐山"/”Arashiyama”, “迅速な回復”/”swift recovery”, “台風18号”/”Typhoon No. 18”, dan “flood”. Terbukti bahwa hipotesis benar. Selain itu, terbukti bahwa swift recovery berjalan dengan efektif karena faktor-faktor berikut: (a) adanya upaya preventif; (b) baiknya asesmen kondisi pascabencana, (c) terpusat dan terstrukturnya pemulihan; (d) cepatnya peringatan dan evakuasi; (e) adanya penanggulangan khusus terhadap sungai sebagai salah satu penyebab utama bencana; (f) baiknya arahan dan laporan yang diberikan Pemerintah; (g) baiknya koordinasi dan kerja sama seluruh pihak; serta (h) baiknya kesadaran publik. Ada pun aktor yang berperan dalam keberjalanan swift recovery adalah pemerintah, pihak swasta, relawan, dan masyarakat. Terakhir, disimpulkan bahwa peran disaster countermeasure dalam tourism recovery di Arashiyama mencakup (a) evakuasi dan bantuan pemulangan turis, (b) pencegahan penurunan reputasi Arashiyama, (c) pemulihan situs pariwisata, serta (d) promosi kembali Arashiyama sebagai daerah wisata yang telah pulih dari bencana.
Kata kunci: Swift recovery, turisme, Distrik Arashiyama, banjir, typhoon
Zahra Annisa Fitri
Institut Teknologi Bandung
1. PENDAHULUAN
Typhoon Man-yi menghantam Jepang
pada pertengahan 2013. Man-yi sendiri adalah taifun besar yang membawa angin
kencang dan banjir bandang. Man-yi terdeteksi muncul pertama kali pada 9 September
2013 di Kepulauan Mariana Utara, kemudian mendekati Jepang pada 15 September
2013, dan menghantam Kyoto pada 16 September 2013. Taifun ini juga menghantam prefektur
lainnya, seperti Fukui, Shiga, dan Osaka. Meskipun Man-yi akhirnya berakhir
pada 20 September 2013, kerugian yang diderita Jepang sangat besar, mencapai 160
miliar yen atau sekitar 21 miliar rupiah (Kementerian Pertanahan,
Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata, 2015).
Akibat taifun tersebut, seluruh transportasi dalam negeri terganggu.
Layanan kereta api dihentikan, jalan tol ditutup, dan penerbangan dibatalkan (The
Japan Times, 2013). Namun, keesokan harinya, Menteri Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata menyatakan bahwa
sebagian besar layanan telah kembali berjalan (Global Times, 2013). Bahkan, dua hari
setelah Man-yi menghantam Distrik Arashiyama yang terletak di Prefektur Kyoto, para
pemilik bisnis lokal mengajukan layanan mereka untuk beroperasi kembali pada
awal Oktober (The J Team, 2013). Bagaimana pun, Arashiyama adalah distrik yang
terkenal dengan pariwisata alamnya sejak zaman Heian, atau sekitar 800—1200 tahun
yang lalu (Japan Guide, 2020).
Cepatnya pemulihan tersebut menunjukkan betapa efektifnya swift recovery
atau pemulihan cepat yang dilakukan Pemerintah Jepang setelah wilayahnya terkena
bencana. Pemulihan cepat sendiri berbeda dengan sustainable recovery ‘pemulihan
berkelanjutan’ (Onis dan Kutlay, 2012). Swift recovery belum tentu
bersifat berkelanjutan, tetapi sustainable recovery selalu dapat dilakukan
untuk melanjutkan swift recovery. Swift recovery sendiri
dibutuhkan untuk menghindari situasi semakin memburuk. Jika situasi telanjur
memburuk, pemulihan secara keseluruhan dapat berlangsung lebih lama, memberikan
kerugian yang lebih besar, bahkan bisa saja situasi tidak akan pernah kembali
normal seperti sebelumnya.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini ialah swift recovery mendukung
tourism recovery di Arashiyama, Kyoto, Jepang. Penelitian ini bertujuan
untuk (a) menjabarkan efektivitas swift recovery yang dilakukan
Pemerintah Jepang dalam mengatasi typhoon Man-yi pada 2013, (b)
menganalisis faktor-faktor penyebab efektivitas keberjalanan swift recovery tersebut,
(c) menganalisis aktor-aktor yang berperan dalam keberjalanan swift recovery
tersebut, serta (d) menjelaskan peran disaster countermeasure dalam tourism
recovery di Arashiyama.
Sejauh ini, belum ada penelitian yang khusus meneliti swift recovery
di Arashiyama serta hubungannya dengan tourism recovery akibat typhoon
Man-yi yang terjadi pada 2013. Penelitian yang paling dekat dari segi latar
belakang kasus adalah “A Generalized Framework for Assessing Flood Risk and
Suitable Strategies under Various Vulnerability and Adaptation Scenarios: A
Case Study for Residents of Kyoto City in Japan” yang ditulis oleh Jhong dkk.
pada Jurnal Water (2020). Namun, penelitian tersebut fokus pada
penilaian dan perumusan strategi menghadapi banjir, sementara penelitian ini
fokus pada swift recovery dan tourism recovery. Delineasi wilayah
untuk penelitian tersebut adalah Kyoto, sementara delineasi wilayah untuk
penelitian ini adalah Arashiyama sebagai distrik yang berfokus pada pariwisata.
Oleh karena itu, setelah penelitian ini usai dilakukan dan hipotesis berhasil
dibuktikan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan rekomendasi pelaksanaan swift
recovery yang dapat pula diterapkan di Indonesia sebagai negara dengan
potensi pariwisata yang besar.
2. DATA
DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode literature review atau tinjauan literatur. Literatur yang ditinjau
adalah literatur ilmiah
tentang sebuah topik, kemudian literatur tersebut secara kritis dianalisis, dievaluasi, dan disintesis berdasarkan hasil peninjauan (Pasahar, 2020).
Pencarian literatur menggunakan situs Google dan Google Scholar dengan kata
kunci "嵐山"/”Arashiyama”, “迅速な回復”/”swift recovery”, “台風18号”/”Typhoon No. 18”,
dan flood ‘banjir’. Kriteria literatur yang ditinjau adalah artikel utuh
dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa Jepang.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Efektivitas Keberjalanan Swift Recovery Arashiyama
Mengacu pada Santini dan Taji (2019), sejarah Jepang
telah mencatat kerusakan besar yang diakibatkan oleh banjir, terutama sepanjang
sungai, termasuk Sungai Katsura yang melewati Arashiyama. Upaya penanggulangan
banjir telah dilaksanakan sejak abad ke-9, tetapi zaman terus berganti. Potensi
banjir berubah, tetapi Pemerintah Jepang juga mengikuti perubahan tersebut
dengan menyesuaikan konstruksi infrastruktur, penghijauan alam, serta upaya
lainnya untuk menghindari banjir. Namun, Man-yi yang terjadi pada 2013
merupakan peristiwa di luar ekspektasi. Curah hujan sepanjang taifun jauh lebih
besar daripada rata-rata curah hujan pada September 2013 (Masaki dan Kei, 2015)
sehingga banjir bandang pun terjadi dan mengakibatkan kerugian yang cukup besar
di seantero Jepang, termasuk Distrik Arashiyama, Prefektur Kyoto.
Di Arashiyama, penyebab banjir bandang adalah luapan
Sungai Katura. Akibat luapan sungai tersebut, Jembatan Togetsukyo di Arashiyama
nyaris tenggelam. Namun, jembatan tetap berdiri kokoh karena pencegahan telah
dilakukan oleh Kementerian Pertanahan,
Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata melalui pembangunan Bendungan Hiyoshi
yang mengendalikan banjir sehingga 90% volume air yang lepas ke hilir berkurang
(Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata, 2014).
Gambar 1. Jembatan Togetsukyo Saat Banjir Bandang Akibat Man-yi 2013
Sumber: Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata, 2014
Gambar 2. Perkiraan Ketinggian Air Berdasarkan Keberadaan Bendungan Hiyoshi
Sumber: Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata, 2014
Upaya pemulihan di Arashiyama sebenarnya merupakan
bagian dari pemulihan yang dilakukan Pemerintah Jepang untuk seluruh wilayahnya
yang terdampak taifun dan banjir bandang. Berdasarkan laporan tentang kerusakan
akibat Typhoon No. 18 yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Kebakaran dan Bencana
(消防庁災害対策 室) pada 7 Oktober
2013, akibat typhoon Man-yi, terdapat 6 korban jiwa yang seluruhnya ditemukan
dan teridentifikasi kurang dari 5 hari setelah bencana terjadi, 1 orang hilang,
18 orang cedera berat, dan 125 orang cedera ringan. Terdata pula kerusakan
perumahan yang mencakup 48 rumah yang benar-benar hancur, 208 rumah yang
setengah hancur, 1.394 rumah yang rusak sebagian, 3.011 rumah yang dimasuki
banjir, dan 7.078 rumah yang terkena banjir tetapi tidak sampai masuk. Sementara
itu, kerusakan nonperumahan mengenai 32 bangunan publik dan 148 bangunan
lainnya.
Laporan tersebut dirilis setelah tiga minggu bencana
terjadi dan merupakan laporan pembaharuan ke-11. Jika dibandingkan dengan
laporan terakhir yang dirilis, yaitu laporan ke-14 pada 11 Maret 2014, angka
yang tercantum adalah sama. Artinya, Pemerintah Jepang tanggap, cepat, dan
akurat dalam melakukan penilaian. Penilaian seperti itu diperlukan dalam efektivitas
pelaksanaan swift recovery. Dengan mengetahui kondisi pascabencana sejak
dini, diketahui pula bentuk pemulihan apa yang harus lekas dilakukan.
Sebelum adanya laporan
pembaharuan, laporan pertama dirilis oleh Kantor Kabinet Jepang (内閣府) pada hari-H
terjadinya bencana pukul 12.00 JST. Laporan pertama tersebut telah memuat data-data
kuantitatif meskipun masih dalam proses identifikasi. Laporan tersebut juga
memuat informasi lainnya, seperti informasi cuaca dan upaya-upaya yang telah dilakukan
Pemerintah dalam menanggulangi bencana. Berarti, Pemerintah juga sigap dan terbuka
dalam mempublikasikan laporannya kepada masyarakat. Dalam kurun waktu tiga
minggu itu pula, terdapat satu orang hilang yang berhasil ditemukan sehingga jumlah
orang hilang turun dari 2 menjadi 1.
Hal-hal tersebut selaras dengan empat poin arahan
langsung dari Perdana Menteri yang termuat dalam laporan pertama. Empat poin
tersebut adalah sebagai berikut:
(a) situasi terkini memang penuh kerusakan, tetapi mohon dipahami dan tetap
waspada; (b) ambil semua tindakan yang mungkin untuk menyelamatkan korban; (c)
seluruh kementerian dan lembaga terkait harus bekerja sama; dan (d) informasi
yang akurat harus diberikan dengan penuh kerja keras kepada publik. Selain itu,
pemerintah pusat juga langsung membentuk satuan tugas darurat (TEC-FORCE) untuk
menilai kerusakan dan mendukung upaya penyelamatan (Daily News, 2013), serta
mengadakan call center dan menyelenggarakan rapat disaster countermeasure.
Setiap kementerian dan lembaga pun memberikan respons, arahan, dan pemberitahuan
mengenai langkah yang akan diambil.
Laporan kedua dirilis pukul 21.00 JST pada hari
terjadinya bencana. Selain pembaharuan dari informasi yang telah disebutkan
pada laporan pertama, disampaikan pula bahwa telah dilakukan pengembangan
sistem darurat bencana, penyelenggaraan rapat penanggulangan bencana antara
kementerian dan lembaga yang terkait, pengiriman satuan tugas penanggulangan
bencana, penerapan Disaster Relief Act, serta penambahan dan pembaharuan
respons, arahan, dan pemberitahuan mengenai langkah yang akan diambil dari
setiap kementerian dan lembaga. Selanjutnya, laporan terus diperbaharui secara
berkala.
Pada laporan ke-11, diinformasikan mengenai status 6
markas tanggap bencana yang terdapat di masing-masing prefektur. Dari ke-6
markas, 1 di antaranya yang terletak di Prefektur Akita yang merupakan markas
pusat telah dibentuk sejak 9 Agustus. Selebihnya dibentuk kurang dari 1 hari
setelah taifun terjadi. Per 7 Oktober atau ketika laporan ke-11 dirilis, 3 di
antaranya telah selesai berfungsi, yakni markas di Prefektur Gifu, Prefektur
Aichi, dan prefektur Mie. Ada pun markas pusat di Prefektur Akita, serta markas
di Prefektur Kyoto—tempat Arashiyama berada—dan Prefektur Shiga masih
beroperasi.
Secara keseluruhan, laporan yang dirilis untuk publik
memuat informasi yang sangat lengkap. Informasi yang dimaksud mencakup kondisi cuaca,
jumlah kerugian, status evakuasi, serta kerusakan lainnya seperti bencana
sedimen, kondisi sungai, jaringan listrik, jaringan jalan, sarana dan prasarana
transportasi, fasilitas pendidikan, fasilitas sosial, fasilitas kesehatan, hingga
kondisi pertanian, kehutanan, perikanan, dan pariwisata, juga respons
pemerintah pusat dan setiap kementerian dan lembaga terkait. Ada pun informasi
waktu yang termuat sangat presisi hingga ke detail menit.
Selain itu, tercatat dalam Fukunaga dkk. (2015) bahwa Badan
Meteorologi Jepang memberikan peringatan darurat ketika terjadi hujan lebat.
Berikut adalah tahapan peringatan darurat yang diberikan:
a.
Peringatan darurat dikeluarkan oleh Badan Meteorologi
Jepang karena curah hujan sudah mencapai 48 jam dengan indeks tanah yang melebihi
tingkat intensitas;
b.
NHK menyiarkan peringatan darurat tersebut melalui
televisi lokal dan nasional. Siaran tersebut memuat pula makna peringatan serta
tindakan apa yang harus dilakukan masyarakat;
c.
Kota-kota yang sungainya sudah meluap, seperti Kyoto
dan Fukuchiyama, mendapat peringatan darurat tambahan untuk mengatasi situasi
yang semakin berbahaya. Peringatan tambahan tersebut berupaya pesan elektronik langsung
ke masing-masing warga;
d.
Peringatan darurat via siaran televisi dan pesan
elektronik dilakukan berulang-ulang.
Namun, sebagian besar penduduk lansia tidak memahami
peringatan darurat yang diberikan. Hal ini tampaknya menjelaskan mengapa 4 dari
6 korban jiwa yang jatuh dalam peristiwa ini adalah lansia, serta 1 dari 1
korban yang hilang juga merupakan lansia. Di Arashiyama sendiri, tidak terdapat
korban jiwa maupun korban yang hilang.
Mengacu pada laporan Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata (2014),
Pemerintah juga mengucurkan dana tambahan untuk swift recovery
sebesar 50 juta yen dari 10 juta yen, serta dana untuk only desk work
yang terkena bencana sebesar 10 juta yen dari 3 juta yen dengan cara mengurangi
pendanaan proyek-proyek lainnya sehingga swift recovery dapat
terfasilitasi. Selain itu, 30 distrik yang terkena dampak Man-yi, termasuk Arashiyama,
juga memperoleh hibah proyek darurat (emergency project promotion grants)
guna memastikan keamanan dan kenyamanan masyarakat serta mencegah terulangnya
bencana. Penggunaan dana ini juga tercantum detailnya dalam laporan Pemerintah.
Contohnya, untuk anggaran Prefektur Kyoto, tercantum dalam dokumen rangkuman
tanggap bencana Typhoon No. 18 yang dikeluarkan oleh Biro Administrasi
dan Keuangan Badan Pencegahan Bencana dan Manajemen Krisis Prefektur Kyoto (行財政局防災危機管理室) pada Desember
2013.
Kendati tidak ditemukan dokumen atau literatur yang
secara spesifik membahas detail swift recovery di Arashiyama, terlihat bahwa
swift recovery yang dilakukan Pemerintah secara umum untuk seluruh
daerah dalam menanggulangi dampak bencana taifun dan banjir bandang sudah
sangat efektif. Distrik Arashiyama sebagai bagian dari Prefektur Kyoto tentu
memperoleh swift recovery yang serupa karena sejauh tinjauan literatur
ditemukan, tidak ditemukan ada kendala yang khusus menghambat recovery
di Arashiyama, Kyoto. Penanggulangan berhasil dilaksanakan dengan cepat, tepat,
transparan, dan komprehensif. Ada pun faktor-faktor penyebab efektivitas swift
recovery beserta aktor-aktor yang terlibat akan dibahas pada dua subbagian
Hasil dan Pembahasan berikutnya, dan pengaruh dari swift recovery ini
terhadap tourism recovery di Arashiyama akan dibahas pada subbagian
Hasil dan Pembahasan yang terakhir.
3.2
Faktor-Faktor Efektivitas Keberjalanan Swift
Recovery Arashiyama
Terdapat enam faktor efektivitas
keberjalanan swift recovery atas bencana taifun dan banjir bandang yang
mengenai Jepang, termasuk Arashiyama, yaitu sebagai berikut:
a.
Terdapat upaya preventif seperti tersedianya markas
pusat disaster countermeasure di Prefektur Akita dan adanya bendungan seperti
Bendungan Hideyoshi yang dapat menahan lepasan air;
b.
Asesmen kondisi pascabencana dilakukan dengan baik. Besar
kerusakan dihitung dengan cepat dan tepat;
c.
Pemulihan dilakukan dengan segera melalui langkah-langkah
yang terpusat dan terstruktur;
d.
Koordinasi antarkementerian dan lembaga sangat baik.
Setiap kementerian dan lembaga saling melengkapi satu sama lain;
e.
Arahan dan laporan sangat jelas, transparan, dan up-to-date;
dan
f.
Terdapat kesadaran publik yang baik seperti taatnya
masyarakat dalam mengikuti instruksi yang diberikan. Hanya saja, sebagian dari
penduduk lansia tampaknya sudah tidak mampu memahami instruksi yang diberikan.
Sementara itu, berdasarkan dokumen
rangkuman tanggap bencana Typhoon No. 18 yang dikeluarkan oleh Biro
Administrasi dan Keuangan Badan Pencegahan Bencana dan Manajemen Krisis
Prefektur Kyoto (行財政局防災危機管理室) pada Desember 2013, keberjalanan
swift recovery di Arashiyama dipengaruhi oleh tujuh poin berikut:
a.
Kerja sama di dalam masyarakat sangat baik. Bukan
hanya tim yang turun dari Pemerintah, melainkan pula banyak warga, asosiasi,
hingga para sukarelawan turun untuk saling membantu dalam kegiatan evakuasi.
Akibatnya, kerusakan dapat diminimalkan dan tidak ada korban jiwa;
b.
Dilakukan penindaklanjutan terhadap sungai-sungai yang
ada. Luapan sungai adalah salah satu penyebab utama banjir bandang sehingga pemeriksaan
ketat dan perombakan darurat sungai termasuk sebagai prioritas dalam swift recovery;
c.
Tempat evakuasi sementara (TES) dibuka dengan cepat.
Pembukaan dapat dilakukan langsung di hari H bencana;
d.
Terdapat kerja sama dengan sejumlah pihak swasta. Oleh
karena itu, evakuasi dan pengungsian tidak hanya dapat dilakukan di TES yang
telah disediakan Pemerintah, tetapi juga dapat dilakukan di fasilitas-fasilitas
yang dimiliki oleh pihak swasta;
e.
Dengan dukungan dan koordinasi dari berbagai pihak, evakuasi
dan pengungsian berjalan dengan aman dan lancar;
f.
Setiap dinas melakukan tanggap darurat melalui segala
cara yang mungkin di ranahnya masing-masing. Dinas yang dimaksud mencakup Dinas
Pemadam Kebakaran (消防局), Dinas Keindahan Kota (まち美化事務所), Dinas
Pekerjaan Umum (土木事務所), dan Dinas Transportasi
(交通局);
g.
Sistem ledger ‘buku besar’ dimanfaatkan dan
diperbarui untuk mendata korban dan menilai kerusakan yang terjadi.
Selain itu, Kyoto termasuk Arashiyama juga mengidentifikasi
setiap kendala mayor untuk langsung diatasi dan dicegah keberlanjutannya. Kendala
tersebut dibagi ke dalam dua jenis: soft dan hard. Kendala soft
adalah kendala yang berkenaan dengan sistem, seperti sistem evakuasi, sistem pengumpulan
dan penyebaran informasi, sistem investigasi kerusakan, dan sistem penanggulangan
terhadap sektor pariwisata. Sementara itu, kendala hard adalah kendala
pada kawasan, infrastruktur, dan bangunan. Kendala hard mencakup kendala
pada kawasan sungai, pertanian, kehutanan, juga mencakup kendala pada sektor
transportasi, drainase, serta penyediaan air bersih dan pembuangan air limbah.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah adanya
linimasa yang jelas dan detail, keterbukaan informasi, serta upaya dari setiap
pihak untuk bekerja keras bersama-sama melakukan pemulihan.
Oleh karena itu, disimpulkan bahwa efektivitas keberjalanan
swift recovery di Arashiyama dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
a.
Adanya upaya preventif seperti adanya bendungan dan markas
penanggulangan bencana;
b.
Baiknya asesmen kondisi pascabencana;
c.
Terpusat dan terstrukturnya rencana pemulihan;
d.
Cepatnya pemberian peringatan darurat dan pelaksanaan
evakuasi;
e.
Adanya penanggulangan khusus terhadap salah satu penyebab
utama bencana, yaitu kondisi sungai; Baiknya arahan dan laporan yang diberikan
Pemerintah;
f.
Baiknya koordinasi dan kerja sama seluruh pihak; dan
g.
Baiknya kesadaran publik.
3.3
Aktor-Aktor dalam Keberjalanan Swift Recovery Arashiyama
Pemerintah memegang peran penting dalam keberjalanan swift
recovery. Pihak-pihak dari Pemerintah yang terlibat berdasarkan laporan typhoon
adalah sebagai berikut:
a.
Perdana Menteri;
b.
Kantor Kabinet (内閣府);
c.
Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi (総務省);
d.
Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (経済産業省);
e.
Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan (厚生労);
f.
Kementerian Keuangan (財務省);
g.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains
dan Teknologi (文部科学省);
h.
Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan
Pariwisata (国土交通省);
i.
Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (農林水産省);
j.
Badan Kepolisian Nasional (警察庁);
k.
Badan Penanggulangan Bencana dan Kebakaran (消防庁);
l.
Badan Meteorologi Jepang (気象庁);
m.
Badan Jasa Keuangan (金融庁);
n.
Penjaga Pantai (海上保安庁); dan
o.
Otoritas Informasi Geospasial (国土地理院).
Setiap elemen pemerintahan juga bergerak dengan tepat
sesuai dengan kerangka kelembagaan yang ada, misalnya sebagai berikut:
Gambar 3. Skema dan Peran Badan Meteorologi Jepang (JMA)
dalam Operasi Manajemen Bencana
Sumber: Badan Meteorologi Jepang (JMA), 2021 <jma.go.jp>
Selain itu, pihak swasta juga terlibat dalam swift
recovery. Contoh pihak swasta yang terlibat adalah dalam swift recovery
di Kyoto adalah JRA Kyoto Racecourse, Stasiun Yodo, JT Kyoto, dan Round1. Mereka
berperan dalam meminjamkan bangunan mereka sebagai TES, memberikan tambahan lokasi
TES bagi masyarakat.
Gambar 4. Situasi Stasiun yang Masih Tidak Terjangkau Banjir
Sumber: Tanaka, 2014
Relawan juga berperan dalam swift recovery. Untuk
wilayah Kyoto, kegiatan para relawan terpusat di Pusat Relawan Bencana Kota
Kyoto (コ 京都市災害ボランティアセンター) sehingga
aktivitas yang dilakukan lebih terintegrasi.
Gambar 5. Aktivitas Para Relawan Membantu Penanggulangan Banjir Bandang
Sumber: Tanaka, 2014
Terakhir, tentu saja masyarakat ikut berperan dalam keberjalanan
swift recovery. Selain tolong menolong dalam masyarakat, kesadaran
publik yang dimiliki serta kepatuhan pada instruksi yang diberikan juga sangat
membantu berhasilnya swift recovery.
3.4
Peran Disaster Countermeasure dalam Tourism
Recovery di Arashiyama
Mengacu pada Pusat Dukungan Bisnis Meteorologi Jepang
(一般財団法人 気象業務支援センター) atau Japanese
Meteorological Business Support Center (JMBSC), tindakan yang termasuk dalam disaster
countermeasure seperti pada Gambar 4 adalah sebagai berikut:
a.
Tindakan khusus untuk kerusakan parah akibat bencana
taifun, hujan lebat, badai salju, gempa bumi, dan letusan gunung berapi;
b.
Keselamatan transportasi yang meliputi transportasi
darat, laut, dan udara;
c.
Perlindungan lingkungan yang meliputi kebakaran,
polusi udara dan laut, serta isu lingkungan global seperti lapisan ozon dan
perubahan iklim.
Bencana yang terjadi pada 2013 yang menghantam
Arashiyama termasuk dalam poin (a) dan (b), yaitu bencana taifun dan hujan
lebat. Berdasarkan hal tersebut, Badan Meteorologi Jepang bertanggung jawab
langsung untuk melakukan observasi, pengumpulan data, dan pengeluaran
peringatan untuk mengurangi risiko bencana. Akan tetapi, tanggung jawab
tersebut tidak dipegang oleh Badan Meteorologi Jepang sendiri, melainkan
berkoordinasi dengan lembaga dan kementerian Jepang lainnya seperti telah
tercantum pada penjelasan subbagian sebelumnya.
Mengacu pada Yoshio dan Tomoko (2016), disaster
countermeasure telah diusahakan oleh Pemerintah Jepang, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah lokal. Namun, proteksi yang telah dikembangkan masih berfokus
pada keselamatan masyarakat setempat dan hanya sebagian kecil upaya yang berfokus
pada turis. Padahal, jika terdapat mekanisme untuk memproteksi para wisatawan oleh
pemerintah, jumlah wisatawan dapat meningkat karena keamanan dan keselamatan para
wisatawan lebih terjamin.
Namun, penanggulangan bencana bagi masyarakat setempat
dan wisatawan bukanlah sebuah dikotomi. Meskipun disaster countermeasure
khusus wisatawan masih perlu dikembangkan di Kyoto, termasuk di Arashiyama,
wisatawan yang menjadi korban pada banjir bandang akibat taifun tahun 2013
tetap diselamatkan bersama masyarakat setempat lainnya oleh tim penyelamat (Yamaguchi,
2013).
Berdasarkan dokumen rangkuman tanggap bencana Typhoon
No. 18 yang dikeluarkan oleh Biro Administrasi dan Keuangan Badan
Pencegahan Bencana dan Manajemen Krisis Prefektur Kyoto (行財政局防災危機管理室) pada Desember
2013, wisatawan yang menjadi korban adalah para wisatawan yang berada di
sekitar Arashiyama dan Jembatan Togetsu, yang merupakan salah satu pusat pariwisata
di Kyoto. Para wisatawan segera dievakuasi menggunakan perahu. Setelahnya, para
wisatawan masih menghadapi kendala berupa kesulitan pulang karena transportasi
masih terhalang banjir. Namun, Pemerintah telah menyediakan tempat evakuasi untuk
menampung para wisatawan sementara waktu, serta menyediakan biro informasi dan bantuan
untuk kepulangan nantinya. Hal tersebut merupakan bentuk dari disaster
countermeasure yang terwujud dalam swift recovery.
Sebenarnya, terdapat kekhawatiran akan pengurangan
jumlah wisatawan ke Arashiyama ke depannya, apalagi dengan tayangnya situasi
banjir bandang yang parah di Arashiyama melalui siaran televisi. Dikhawatirkan
tayangan tersebut menurunkan reputasi Arashiyama. Namun, hal tersebut dapat
diatasi dengan swift recovery yang telah dilakukan, yang diikuti dengan
langkah-langkah tourism recovery sebagai berikut.
Langkah pertama ialah pemulihan tempat wisata di
Arashiyama. Kerusakan yang terjadi di Arashiyama mencakup pula kerusakan pada
situs bersejarah dan scenic spot yang merupakan tempat wisata nasional. Oleh
karena itu, selain menanggulangi banjir dan kendala pada sungai, situs-situs
pariwisata juga dipulihkan. Misalnya, dilakukan pemindahan pohon-pohon dari bantaran
sungai. Setiap fasilitas yang rusak segera dipulihkan dan status pemulihannya diumumkan
ke media massa satu per satu. Tujuan utamanya ialah untuk mencegah penurunan
reputasi daerah pariwisata Arashiyama.
Kemudian, pada 4 Oktober 2013, dilakukan Kampanye Genki
de Kyoto di Tokyo (元気です京都キャンペーン in 東京) yang
dipelopori Gubernur Kyoto melalui Komisaris Badan Pariwisata Jepang sebagai
upaya Kyoto mempromosikan kembali daerah wisatanya—Saga-Arashiyama—yang telah
pulih dari taifun dua minggu sebelumnya. Digencarkan pula digital signage
di stasiun utama seluruh negeri, serta promosi energik dari Kyoto ke seluruh
negeri.
Melalui tindakan tourism recovery tersebut, pencegahan
penurunan reputasi daerah wisata Arashiyama sukses dilaksanakan. Akibatnya, tercatat
jumlah wisatawan hampir sama pada tahun sebelumnya alias tidak ada penurunan
yang signifikan. Walaupun pada Kagoshima Official Tourism Website, Departemen
Strategi Pariwisata Prefektur Kagoshima (2014) menyebutkan bahwa dua minggu
setelah taifun adalah “luka parah selama dua minggu berturut-turut”, tourism
recovery di Distrik Arashiyama, Prefektur Kyoto tetap berhasil dilakukan
dalam waktu-waktu sulit tersebut.
Tentu saja keberhasilan tourism recovery tidak
terlepas dari keberhasilan swift recovery yang dilakukan sebelumnya.
Karena swift recovery terlaksana, situasi tidak memburuk dan masih dapat
dikendalikan sehingga pemulihan selanjutnya, yaitu tourism recovery
berhasil dilakukan.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil tinjauan literatur, hipotesis “swift recovery mendukung
tourism recovery di Arashiyama, Kyoto, Jepang” terbukti benar. Swift
recovery itu sendiri berjalan dengan efektif dalam mengatasi kerusakan
akibat typhoon Man-yi pada 2013 di Jepang, yang juga mengenai Arashiyama,
Tokyo. Efektivitas swift recovery tersebut didukung oleh delapan faktor
utama, yaitu (a) adanya upaya preventif; (b) baiknya asesmen kondisi
pascabencana, (c) terpusat dan terstrukturnya rencana pemulihan; (d) cepatnya pemberian
peringatan darurat dan pelaksanaan evakuasi; (e) adanya penanggulangan khusus terhadap
salah satu penyebab utama bencana, yaitu kondisi sungai; (f) baiknya arahan dan
laporan yang diberikan Pemerintah; (g) baiknya koordinasi dan kerja sama seluruh
pihak; serta (h) baiknya kesadaran publik. Aktor yang berperan dalam
keberjalanan swift recovery tersebut adalah Pemerintah, pihak swasta,
relawan, dan masyarakat. Terakhir, peran disaster countermeasure dalam tourism
recovery di Arashiyama mencakup (a) evakuasi dan bantuan pemulangan turis, (b)
pencegahan penurunan reputasi Arashiyama, (c) pemulihan situs-situs pariwisata,
serta (d) promosi kembali Arashiyama sebagai daerah wisata yang telah pulih dan
siap menerima wisatawan kembali. Bagaimana pun, swift recovery dan tourism
recovery yang dilakukan di Arashiyama, Kyoto, Jepang sangat luar biasa
sehingga pemulihan dari kerusakan akibat taifun dan banjir bandang bisa dilakukan
hanya dalam waktu dua minggu.
5. REFERENSI
Badan Meteorologi Jepang/JMA 気象庁. (2021). Our Missions. Diakses
dari <https://www.jma.go.jp/jma/en/Background/mission.html> pada 1 April
2021.
Badan Penanggulangan Kebakaran dan Bencana 消防庁災害対策 室. 2013. 台風第18号による被害状況等について(第11報). Diakses dari <https://www.fdma.go.jp>
pada 30 Maret 2021.
Biro Administrasi dan Keuangan
Badan Pencegahan Bencana dan Manajemen Krisis 行財政局防災危機管理室. (2013). 資料1 台風18号における本市の災害対応に係る総括について. Diakses dari <https://www.city.kyoto.lg.jp/gyozai/cmsfiles/contents/0000164/164235/taifu18-sokatu.pdf>
pada 30 Maret 2021.
Daily News. (2013, September 16). Japan Lashed by
Powerful Typhoon, Thousands Evacuated. Diakses dari
<https://www.dailynews.com/2013/09/16/japan-lashed-by-powerful-typhoon-thousands-evacuated/>
pada 1 April 2021.
Departemen Strategi Pariwisata Divisi Pariwisata
Federasi Pariwisata Prefektur Kagoshima 観光戦略部観光課 公益社団法人鹿児島県観光連盟. (2014). No.334
「忘己利他の心」で信頼関係の構築を~人の心を動かす行動とは~. Diakses dari
<https://www.kagoshima-kankou.com> pada 30 Maret 2021.
Fukunaga, H., Miki, M., &
Kei, K. (2015). 台風による大雨と初の特別警報~危機の情報はどう伝わったか~. Diakses dari <http://www.nhk.or.jp/bunken/summary/research/report/2014_01/20140101.pdf>
pada 1 April 2021.
Global Times. (2013). Major cleanup operations
underway in Japan as typhoon leaves 3 dead, 5 missing. Diakses dari <https://www.globaltimes.cn/content/812077.shtml>
pada 30 Maret 2021.
Japan Guide. (2020). Arashiyama and Sagano.
Diakses dari <https://www.japan-guide.com/e/e3912.html> pada 30 Maret
2021.
Japan Meteorological Business Support Center (JMBSC). Modernization
of Meteorological Services in Japan. Diakses dari <http://pubdocs.worldbank.org/en/855021475119724095/DRMHubTokyo-Modernization-of-Meteorological-Services-in-Japan.pdf>
pada 1 April 2021.
Jhong, B. C., Tachikawa, Y., Tanaka, T., Udmale, P.,
& Tung, C. P. (2020). A generalized framework for assessing flood risk and
suitable strategies under various vulnerability and adaptation scenarios: A
case study for residents of Kyoto city in Japan. Water, 12(9), 2508.
Kantor Kabinet 内閣府. (2013). 台風第18号による大雨等による被害状況等について. Diakses dari
<http://www.bousai.go.jp/updates/h25typhoon18/pdf/h25typhoon18_1.pdf> pada
30 Maret 2021.
Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi,
dan Pariwisata 国土 交通 省. (2014). White
Paper on Land, Infrastructure, Transport, and Tourism in Japan 2014.
Diakses dari <https://www.mlit.go.jp/common/001063087.pdf> pada 1 April
2021.
Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi,
dan Pariwisata 国土 交通 省. (2015). 平成25年の水害被害額について. Diakses dari <https://www.mlit.go.jp/common/001084386.pdf>
pada 30 Maret 2021.
Masaki, M., & Kei, K. (2015). Typhoon Heavy
Rain and the First ”Emergency Warning”. NHK Broadcasting Culture Research.
January Issue.
Öniş, Z., & Kutlay, M. (2012). Beyond the Global
Financial Crisis: Structural Continuities as Impediments to a Sustainable
Recovery. All Azimuth: A Journal of Foreign Policy and Peace, 1(1),
10-27.
Pasahar, I., & Dwiantoro, L. (2020). Pengaruh
Empowerment Terhadap Pengambilan Keputusan Perawat: Kajian Literature Review. Journal
of Holistic Nursing Science, 7(2), 124—132. doi: 10.31603/nursing.%20v7i2.3097.
Santini, T., & Taji, T. (2019). Natural Urban
Heritage and Preservation Policies: the Case of Kyoto’s Waterways. International
Journal of Environmental Science & Sustainable Development, 4(2),
95-106.
Tanaka, S. (2014). 2013年台風18号による淀川流域の洪水災害の外力評価. Diakses dari
<https://repository.kulib.kyoto-u.ac.jp/dspace/bitstream/2433/196112/1/a57b0p53.pdf>
pada 1 April 2021.
The J Team (2013). Japan clears up after Typhoon
Man-yi. Diakses dari
<http://www.thejteam.jp/archives/1415> pada 30 Maret 2021.
The Japan Times. (2013). Thousands ordered to
evacuate as typhoon lashes nation. Diakses dari <https://www.japantimes.co.jp/news/2013/09/16/national/typhoon-man-yi-makes-landfall-warnings-issued-in-western-japan/>
pada 30 Maret 2021.
Yamaguchi, M. (2013). Typhoon Man-yi Lashes Japan;
Thousands Evacuate. Diakses dari <https://weather.com/storms/hurricane/news/typhoon-man-yi-lashed-japan-thousands-evacuate-20130916>
pada 30 Maret 2021.
Yoshio, N., & Tomoko, I. (2016). Planning evacuation measures based on simulations and protecting tourists through all-out regional efforts. Diakses dari <http://www.ritsumei.ac.jp/research/radiant/eng/disaster/story6.html/> pada 30 Maret 2021.
Ditulis untuk tugas tengah semester mata kuliah Aspek Kebencanaan dalam Perencanaan.
Komentar
Posting Komentar