- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
"Pelacur adalah profesi tertua di dunia." Demikian Rudyard Kipling menyampaikan dalam artikel "On the City Wall" pada tahun 1988.
Kendati Indonesia adalah negara yang "menjunjung tinggi" Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab, situasinya ternyata tidak jauh berbeda. Prostitusi memang mencederai norma agama dan susila, tetapi industri tersebut masih menjamur di mana-mana.
Gelombang globalisasi turut menyuburkan industri ini. Percepatan globalisasi—yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi—tidak hanya menawarkan kemudahan, tetapi juga membawa perubahan. Sayangnya, tidak setiap individu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Di sisi lain, perubahan yang cepat tanpa diimbangi kemampuan beradaptasi dapat menjerumuskan individu dalam tindakan menyimpang. Contohnya, prostitusi (Soedjono, 1982; Simanjuntak, 1981).
Azanella, L. A. (2019, 28 Oktober). Legalisasi Prostitusi Demi Kontrol, Mungkinkah Terjadi di Indonesia?, diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/28/060000065/legalisasi-prostitusi-demi-kontrol-mungkinkah-terjadi-di-indonesia, pada 15 Juli 2020.
Byanmara. (2016, 5 Juli). DKI Jakarta Legalkan Praktik Prostitusi?, diakses dari https://medium.com/planologi-2015/dki-jakarta-legalkan-praktik-prostitusi-59e5ae80867a, pada 15 Juli 2020.
Kendati Indonesia adalah negara yang "menjunjung tinggi" Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab, situasinya ternyata tidak jauh berbeda. Prostitusi memang mencederai norma agama dan susila, tetapi industri tersebut masih menjamur di mana-mana.
Gelombang globalisasi turut menyuburkan industri ini. Percepatan globalisasi—yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi—tidak hanya menawarkan kemudahan, tetapi juga membawa perubahan. Sayangnya, tidak setiap individu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Di sisi lain, perubahan yang cepat tanpa diimbangi kemampuan beradaptasi dapat menjerumuskan individu dalam tindakan menyimpang. Contohnya, prostitusi (Soedjono, 1982; Simanjuntak, 1981).
Padahal, merujuk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, prostitusi dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan martabat dan nilai pribadi manusia. Prostitusi juga dapat membahayakan kesejahteraan individu, keluarga, hingga masyarakat. Terlebih, jika prostitusi dilakukan secara tersembunyi, tersebar, dan terselubung, pengontrolan akan semakin sulit sehingga pencegahan dan pengendalian penyebaran HIV-AIDS-IMS juga semakin sulit. Selain itu, industri prostitusi adalah pintu masuk bagi tindak kriminal lainnya, seperti perdagangan manusia.
Sayangnya, di Indonesia, supremasi hukum atas ranah ini masih kabur. Saat ini, yang dapat dijerat oleh pihak kepolisian hanya para muncikari dengan menggunakan pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara itu, pengguna dan pekerja tidak bisa dikenai hukum karena belum ada aturan yang mengatur hal tersebut.
Menyadari pesatnya globalisasi sebagai salah satu pemicu dan banyaknya hal-hal negatif sebagai konsekuensi, saya percaya bahwa isu prostitusi semestinya diangkat dan dianggap sebagai suatu urgensi. Dengan meningkatkan status menjadi darurat, seyogianya Pemerintah akan lebih gesit dalam menyelesaikan isu ini.
Jika menerapkan konsep VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity), setidaknya isu prostitusi jelas memiliki sifat volatility 'tidak dapat diprediksi' dan complexity 'kompleks'. Sebagaimana pasar pada umumnya, jumlah permintaan bisa sewaktu-waktu meningkat atau menurun. Faktor-faktor yang tiba-tiba dan tidak terduga, seperti pandemi, juga menyebabkan demand tidak dapat diprediksi. Selain itu, prostitusi bukan sekadar permintaan dan penawaran jasa seksual. Lebih kompleks, prostitusi identik dengan persoalan ekonomi dan persoalan ketimpangan gender. Adanya kekerasan, intimidasi, hingga pelanggaran hak asasi manusia juga sudah menjadi rahasia umum dalam bisnis prostitusi.
Bagaimana pun, Pemerintah harus memberi kejelasan dan langkah yang pasti dalam menghadapi prostitusi di Indonesia. Jika Pemerintah terus menutup mata atau bergerak maju mundur setengah hati, prostitusi akan selamanya menjadi lingkaran setan, bahkan menjadi bom waktu yang dapat melukai khalayak ramai. Pilihan yang paling umum ada dua: kriminalisasi atau legalisasi.
Legalisasi mungkin melindungi pelaku dan masyarakat dari persebaran penyakit. Sayangnya, legalisasi bukanlah pilihan yang paling bijak karena jelas-jelas berbenturan dengan pandangan masyarakat atas dasar agama dan susila. Masalah lainnya adalah adanya pelabelan bagi para pekerja yang langsung diganjar stigma oleh masyarakat.
Kriminalisasi adalah langkah yang paling tepat untuk mewujudkan pemenuhan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menyatakan bahwa manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjualbelikan. Namun, jika Pemerintah memutuskan untuk melakukan kriminalisasi, Pemerintah harus menjamin pemidanaan dilakukan secara adil. Jangan sampai hanya pekerja yang dikenai tindak pidana—dan sanksi sosial—sementara pengguna lolos dari keduanya akibat adanya objektifikasi gender. Saat ini, media juga masih cenderung mengekspos berita secara tidak proporsional dengan menyorot pelaku perempuan semata. Selain itu, lokalisasi juga harus benar-benar dihapuskan karena prostitusi lantas resmi menjadi sebuah tindak kriminal.
Namun, menilik ke Swedia yang dinyatakan sukses mengatasi prostitusi, bisa jadi Indonesia mengambil pendekatan model Nordik, yakni dengan mengkriminalkan pengguna saja. Sementara itu, pekerja diposisikan sebagai korban akibat eksploitasi dan kekerasan oleh pengguna. Ditambah dengan adanya bantuan sosial terhadap pekerja yang ingin berhenti, Pemerintah jelas berperan dalam memotivasi pekerja untuk keluar dari industri tanpa rasa takut atau risiko hukuman. Lebih jauh lagi, untuk memperkuat semua elemen hukum, Pemerintah harus mendidik masyarakat guna memberikan kesadaran yang lebih besar dan memahami praktik yang berbahaya ini. Setelah menerapkan kebijakan ini, sebesar 80% penduduk mendukung hukum beserta prinsip-prinsip di balik pengembangannya (Ekberg, 2004). Selain itu, 60% pekerja di Swedia akhirnya memutuskan untuk keluar dari prostitusi.
Pada akhirnya, Pemerintah masih harus mengkaji lebih jauh kondisi prostitusi di Indonesia. Namun, apapun kebijakan yang nantinya diterapkan, Pemerintah harus berpegang pada dua hal. Pertama, prostitusi jelas bertentangan dengan norma agama dan susila. Kedua, prostitusi jelas merendahkan derajat wanita, serta melanggar hak asasi manusia.
Nama: Zahra Annisa Fitri
Fakultas: SAPPK-G
NIM TPB: 19919106
Kelompok: 34
#TantanganMasaDepan
#DuniaVUCA
#OSKMITB2020
#TerangKembali
Menyadari pesatnya globalisasi sebagai salah satu pemicu dan banyaknya hal-hal negatif sebagai konsekuensi, saya percaya bahwa isu prostitusi semestinya diangkat dan dianggap sebagai suatu urgensi. Dengan meningkatkan status menjadi darurat, seyogianya Pemerintah akan lebih gesit dalam menyelesaikan isu ini.
Jika menerapkan konsep VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity), setidaknya isu prostitusi jelas memiliki sifat volatility 'tidak dapat diprediksi' dan complexity 'kompleks'. Sebagaimana pasar pada umumnya, jumlah permintaan bisa sewaktu-waktu meningkat atau menurun. Faktor-faktor yang tiba-tiba dan tidak terduga, seperti pandemi, juga menyebabkan demand tidak dapat diprediksi. Selain itu, prostitusi bukan sekadar permintaan dan penawaran jasa seksual. Lebih kompleks, prostitusi identik dengan persoalan ekonomi dan persoalan ketimpangan gender. Adanya kekerasan, intimidasi, hingga pelanggaran hak asasi manusia juga sudah menjadi rahasia umum dalam bisnis prostitusi.
Bagaimana pun, Pemerintah harus memberi kejelasan dan langkah yang pasti dalam menghadapi prostitusi di Indonesia. Jika Pemerintah terus menutup mata atau bergerak maju mundur setengah hati, prostitusi akan selamanya menjadi lingkaran setan, bahkan menjadi bom waktu yang dapat melukai khalayak ramai. Pilihan yang paling umum ada dua: kriminalisasi atau legalisasi.
Legalisasi mungkin melindungi pelaku dan masyarakat dari persebaran penyakit. Sayangnya, legalisasi bukanlah pilihan yang paling bijak karena jelas-jelas berbenturan dengan pandangan masyarakat atas dasar agama dan susila. Masalah lainnya adalah adanya pelabelan bagi para pekerja yang langsung diganjar stigma oleh masyarakat.
Kriminalisasi adalah langkah yang paling tepat untuk mewujudkan pemenuhan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menyatakan bahwa manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjualbelikan. Namun, jika Pemerintah memutuskan untuk melakukan kriminalisasi, Pemerintah harus menjamin pemidanaan dilakukan secara adil. Jangan sampai hanya pekerja yang dikenai tindak pidana—dan sanksi sosial—sementara pengguna lolos dari keduanya akibat adanya objektifikasi gender. Saat ini, media juga masih cenderung mengekspos berita secara tidak proporsional dengan menyorot pelaku perempuan semata. Selain itu, lokalisasi juga harus benar-benar dihapuskan karena prostitusi lantas resmi menjadi sebuah tindak kriminal.
Namun, menilik ke Swedia yang dinyatakan sukses mengatasi prostitusi, bisa jadi Indonesia mengambil pendekatan model Nordik, yakni dengan mengkriminalkan pengguna saja. Sementara itu, pekerja diposisikan sebagai korban akibat eksploitasi dan kekerasan oleh pengguna. Ditambah dengan adanya bantuan sosial terhadap pekerja yang ingin berhenti, Pemerintah jelas berperan dalam memotivasi pekerja untuk keluar dari industri tanpa rasa takut atau risiko hukuman. Lebih jauh lagi, untuk memperkuat semua elemen hukum, Pemerintah harus mendidik masyarakat guna memberikan kesadaran yang lebih besar dan memahami praktik yang berbahaya ini. Setelah menerapkan kebijakan ini, sebesar 80% penduduk mendukung hukum beserta prinsip-prinsip di balik pengembangannya (Ekberg, 2004). Selain itu, 60% pekerja di Swedia akhirnya memutuskan untuk keluar dari prostitusi.
Pada akhirnya, Pemerintah masih harus mengkaji lebih jauh kondisi prostitusi di Indonesia. Namun, apapun kebijakan yang nantinya diterapkan, Pemerintah harus berpegang pada dua hal. Pertama, prostitusi jelas bertentangan dengan norma agama dan susila. Kedua, prostitusi jelas merendahkan derajat wanita, serta melanggar hak asasi manusia.
Nama: Zahra Annisa Fitri
Fakultas: SAPPK-G
NIM TPB: 19919106
Kelompok: 34
#TantanganMasaDepan
#DuniaVUCA
#OSKMITB2020
#TerangKembali
Referensi
Agustianingsih, D. (2014). Pengaruh Sikap Masyarakat Terhadap Keberadaan Lokalisasi Prostitusi Dolly dan Maraknya Prostitusi Online Melalui Jejaring Sosial Facebook serta Implikasinya pada Ketahanan Sosial Budaya (Studi pada Masyarakat Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur). Jurnal Ketahanan Nasional, 20(1), 23-34.
Azanella, L. A. (2019, 28 Oktober). Legalisasi Prostitusi Demi Kontrol, Mungkinkah Terjadi di Indonesia?, diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/28/060000065/legalisasi-prostitusi-demi-kontrol-mungkinkah-terjadi-di-indonesia, pada 15 Juli 2020.
Byanmara. (2016, 5 Juli). DKI Jakarta Legalkan Praktik Prostitusi?, diakses dari https://medium.com/planologi-2015/dki-jakarta-legalkan-praktik-prostitusi-59e5ae80867a, pada 15 Juli 2020.
Ginanjar, A. (2018). Dampak pasca penutupan lokalisasi prostitusi pada pekerja seks komersial dalam perspektif rational choice theory. Berita Kedokteran Masyarakat, 34(11), 14-1.
Sevrina, G. I. (2020). Kebijakan Kriminalisasi Praktik Prostitusi di Indonesia. Law and Justice, 5(1), 17-29.
Keren...
BalasHapusTerima kasih Bundaa <3
Hapus