- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sudah beberapa bulan saya pulang ke rumah semenjak pandemi terjadi, dan baru beberapa hari saya bercengkerama dengan dapur.
Sebagai trivia, selama tinggal di indekos, saya jarang sekali main-main di dapur. Biasanya abang ojol lebih saya andalkan. Selama di rumah, saya juga jarang diminta membantu pekerjaan rumah—sepertinya inisiatif saya diuji—makanya saya baru benar-benar kencan dengan dapur beberapa waktu terakhir ini.
Ceritanya, setiap pagi selalu ada tiga telur dimasak: dua telur dadar untuk Nenek dan Bunda, tambah satu telur rebus untuk adik saya. Jadilah saya memasak ketiganya tadi pagi. Namun, saya belum tahu cara melihat apakah telur sudah rebus sempurna atau belum (barangkali jika teman-teman tahu, boleh banget di-share ilmunya di kolom komentar), jadi saya angkat saja dan ndilalah ternyata belum masak. Ketika saya kupas, bagian luarnya sudah masak, tapi dalamnya masih cenderung mentah. Jadilah saya harus merebus ulang.
Saya sedikit bersedih hati memikirkan nasib telur rebus yang setengah matang itu. Ah, lebih tepatnya saya merasa, "Sekolah belasan tahun, lahh rebus telur aja gak lulus, gimana ini."
Sampai pada akhirnya saya mengingat dua telur dadar ala-ala saya yang sudah tersaji rapi sejak awal di bawah tudung saji. Seperti biasa, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Ke depannya saya memang harus lebih meneliti dan mempelajari lagi bagaimana indikator sebuah telur rebus sudah matang sempurna (haduh bahasanya). Namun, saya juga harus mengurang-ngurangi pikiran yang terlampau fokus pada kekurangan saja. Benar gajah di pelupuk mata mestinya disadari, tapi pencapaian yang sudah dilakukan—berhasil mendadar dua telur contohnya—juga perlu diapresiasi.
Siapa sih yang tidak senang diapresiasi? Dan siapa sih yang tidak merasakan nikmatnya hidup kalau hati sudah senang?
Kesimpulannya, selamat makan! Bubur ayam saya sebentar lagi sampai (lho..).
Sebagai trivia, selama tinggal di indekos, saya jarang sekali main-main di dapur. Biasanya abang ojol lebih saya andalkan. Selama di rumah, saya juga jarang diminta membantu pekerjaan rumah—sepertinya inisiatif saya diuji—makanya saya baru benar-benar kencan dengan dapur beberapa waktu terakhir ini.
Ceritanya, setiap pagi selalu ada tiga telur dimasak: dua telur dadar untuk Nenek dan Bunda, tambah satu telur rebus untuk adik saya. Jadilah saya memasak ketiganya tadi pagi. Namun, saya belum tahu cara melihat apakah telur sudah rebus sempurna atau belum (barangkali jika teman-teman tahu, boleh banget di-share ilmunya di kolom komentar), jadi saya angkat saja dan ndilalah ternyata belum masak. Ketika saya kupas, bagian luarnya sudah masak, tapi dalamnya masih cenderung mentah. Jadilah saya harus merebus ulang.
Saya sedikit bersedih hati memikirkan nasib telur rebus yang setengah matang itu. Ah, lebih tepatnya saya merasa, "Sekolah belasan tahun, lahh rebus telur aja gak lulus, gimana ini."
Sampai pada akhirnya saya mengingat dua telur dadar ala-ala saya yang sudah tersaji rapi sejak awal di bawah tudung saji. Seperti biasa, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Ke depannya saya memang harus lebih meneliti dan mempelajari lagi bagaimana indikator sebuah telur rebus sudah matang sempurna (haduh bahasanya). Namun, saya juga harus mengurang-ngurangi pikiran yang terlampau fokus pada kekurangan saja. Benar gajah di pelupuk mata mestinya disadari, tapi pencapaian yang sudah dilakukan—berhasil mendadar dua telur contohnya—juga perlu diapresiasi.
Siapa sih yang tidak senang diapresiasi? Dan siapa sih yang tidak merasakan nikmatnya hidup kalau hati sudah senang?
Kesimpulannya, selamat makan! Bubur ayam saya sebentar lagi sampai (lho..).
Untuk tau udah matang ato belom, cukup pake insting :)
BalasHapusIya, Nda 🥺
Hapus