- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Jam tiga pagi,
jam kepala meminta kontemplasi.
/satu/
Yang hilir mudik dalam kepala
ada, satu tanya,
"Sebenarnya.. aku mau jadi apa?"
Apa cukup menjadi mahasiswa yang belajar bagus-bagus?
Jika iya, berarti cukup bagiku menunggu Agustus,
kemudian kembali berkuliah dengan fokus.
Sayangnya, mataku tidak lepas dari mereka yang terus berjalan
yang kerennya entah mengapa tidak ketulungan.
Sementara aku.. terus-terus rebahan.
Ah, malu.
Tapi aku masih belum tahu.
Sebenarnya apa sih yang aku tuju?
/dua/
Kucoba mencari pembenaran, jadi aku pergi membaca.
Ternyata ada, di buku Psikologi Perkembangan karya Yudrik Jahja.
Katanya, memang banyak masalah baru di tahun-tahun awal dewasa.
Contohnya, bingung ke mana berjalan,
selalu bimbang dengan masa depan,
tertekan untuk lekas menjadi mapan.
Contohnya, merasakan keputusasaan,
ingin menjauh pergi dari kenyataan,
kabur kembali ke masa sekolahan1.
Sayangnya, hidup enggan dijeda untuk sekadar bernapas.
Baik, sebenarnya bisa, tapi setelah itu aku dirundung cemas.
Orang-orang sudah jauh melangkah; kenapa aku tidak bergegas?
/tiga/
Merujuk ke ilmu psikologi,
memang ada masanya semua terasa membebani,
memikirkan masa depan tanpa tahu kapan berhenti.
Namun, jika kupikirkan dalam hening melulu,
akhirnya berapa lama pun waktu berlalu,
jawabannya tidak kunjung aku temu.
Mungkin itu alasan aku menumpahkan perasaan.
Karena.. jika teorinya benar, mungkin aku tidak sendirian,
mungkin ada teman-teman yang sama-sama tengah mencari tujuan.
Kemudian saat aku membaca lagi,
ternyata orang-orang melakukan upaya kecil saat merasakan ini,
misalnya membagi perasaan kepada orang lain alias mengungkapkan diri2.
/empat/
Sayangnya, tidak semua orang bisa
Pun aku juga merasa khawatir dan curiga,
"Memangnya aku bisa tampil dan bercerita?"
Namun, pengungkapan diri katanya adalah indikasi kesehatan mental3
dan merupakan hal yang penting juga dalam keterampilan sosial4,
jadi.. tidak apa-apa sepertinya aku jajal
/lima/
Pada akhirnya, aku masih belum tahu ingin menjadi apa,
tapi aku bersyukur setidaknya sedikit lebih lega;
ternyata bisa kukatakan juga.
***
Referensi
1Wibowo, A. S. (2017). Mantra Kehidupan, Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome dan Quarter-Life Crisis. Elex Media Komputindo.
2Mutiara, Yeni. (2018). Quarter Life Crisis pada Mahasiswa BKI Tingkat Akhir. Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3Johnson, James & Godin, Steve & Bloomquist, Michael. (1981). Human Factors Engineering in Computerized Mental Health Care Delivery. Behavior Research Methods & Instrumentation. 13. 425-429. 10.3758/BF03202049.
4Carbery, J., & Buhrmester, D. (1998). Friendship and Need Fulfillment During Three Phases of Young Adulthood. Journal of Social and Personal Relationships, 15(3), 393–409.
jam kepala meminta kontemplasi.
/satu/
Yang hilir mudik dalam kepala
ada, satu tanya,
"Sebenarnya.. aku mau jadi apa?"
Apa cukup menjadi mahasiswa yang belajar bagus-bagus?
Jika iya, berarti cukup bagiku menunggu Agustus,
kemudian kembali berkuliah dengan fokus.
Sayangnya, mataku tidak lepas dari mereka yang terus berjalan
yang kerennya entah mengapa tidak ketulungan.
Sementara aku.. terus-terus rebahan.
Ah, malu.
Tapi aku masih belum tahu.
Sebenarnya apa sih yang aku tuju?
/dua/
Kucoba mencari pembenaran, jadi aku pergi membaca.
Ternyata ada, di buku Psikologi Perkembangan karya Yudrik Jahja.
Katanya, memang banyak masalah baru di tahun-tahun awal dewasa.
Contohnya, bingung ke mana berjalan,
selalu bimbang dengan masa depan,
tertekan untuk lekas menjadi mapan.
Contohnya, merasakan keputusasaan,
ingin menjauh pergi dari kenyataan,
kabur kembali ke masa sekolahan1.
Sayangnya, hidup enggan dijeda untuk sekadar bernapas.
Baik, sebenarnya bisa, tapi setelah itu aku dirundung cemas.
Orang-orang sudah jauh melangkah; kenapa aku tidak bergegas?
/tiga/
Merujuk ke ilmu psikologi,
memang ada masanya semua terasa membebani,
memikirkan masa depan tanpa tahu kapan berhenti.
Namun, jika kupikirkan dalam hening melulu,
akhirnya berapa lama pun waktu berlalu,
jawabannya tidak kunjung aku temu.
Mungkin itu alasan aku menumpahkan perasaan.
Karena.. jika teorinya benar, mungkin aku tidak sendirian,
mungkin ada teman-teman yang sama-sama tengah mencari tujuan.
Kemudian saat aku membaca lagi,
ternyata orang-orang melakukan upaya kecil saat merasakan ini,
misalnya membagi perasaan kepada orang lain alias mengungkapkan diri2.
/empat/
Sayangnya, tidak semua orang bisa
Pun aku juga merasa khawatir dan curiga,
"Memangnya aku bisa tampil dan bercerita?"
Namun, pengungkapan diri katanya adalah indikasi kesehatan mental3
dan merupakan hal yang penting juga dalam keterampilan sosial4,
jadi.. tidak apa-apa sepertinya aku jajal
/lima/
Pada akhirnya, aku masih belum tahu ingin menjadi apa,
tapi aku bersyukur setidaknya sedikit lebih lega;
ternyata bisa kukatakan juga.
***
Referensi
1Wibowo, A. S. (2017). Mantra Kehidupan, Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome dan Quarter-Life Crisis. Elex Media Komputindo.
2Mutiara, Yeni. (2018). Quarter Life Crisis pada Mahasiswa BKI Tingkat Akhir. Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
3Johnson, James & Godin, Steve & Bloomquist, Michael. (1981). Human Factors Engineering in Computerized Mental Health Care Delivery. Behavior Research Methods & Instrumentation. 13. 425-429. 10.3758/BF03202049.
4Carbery, J., & Buhrmester, D. (1998). Friendship and Need Fulfillment During Three Phases of Young Adulthood. Journal of Social and Personal Relationships, 15(3), 393–409.
Ceritakan dengan indah
BalasHapus❤❤
Hapus