- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Aku lupa tepatnya berapa hari yang lalu.
Setelah 21 jam tidak tidur, aku terlelap selama hampir enam jam sampai pukul tiga pagi. Iya, siklus tidurku berantakan selama di rumah.
Yang kurasakan saat itu adalah.. kosong. Sampai waktunya sahur, aku terdiam; merenung. Apa saja yang sudah kulakukan? Apakah aku boleh tidur? Tugas apa lagi yang belum kuselesaikan?
Aku berniat menulis beberapa saat setelah matahari terbit,
tapi tidak ada yang tertuang sama sekali pada layar.
Rasanya.. aku cemas.
Aku kembali ke kasur; menenggelamkan diri dalam selimut.
Kalau aku sedang tidak bisa melakukan apa-apa, mungkin aku butuh istirahat.. lagi? Aku masih punya sisa dua jam jika tidur yang baik adalah delapan jam, begitu pikirku.
Singkatnya, aku terbangun lima jam kemudian. Sedikit syok, dan merasa tidurku membuang waktu, tapi mengingat ada tugas yang dikejar untuk malam ini, lagi-lagi aku tidak punya waktu untuk menyesal dan menangis.
Semua berlalu dengan cepat sampai waktu menunjukkan pukul setengah satu pagi. Yang harus kukerjakan, hari itu, mestinya sudah selesai. Mestinya, aku beristirahat. Namun, aku terdorong untuk menonton dokumentasi mereka yang mengidap depresi di YouTube. Apakah aku memancing diriku sendiri? Semoga tidak.
Akhirnya aku memang menangis; sengaja kurekam--tidak untuk dibagikan demi pansos, kok--agar aku "merasa segan" kalau-kalau ingin histeris. Saat kusaksikan lagi, aku jelek juga saat menangis. Hahahaha.
Namun, yang masih terekam dalam kepalaku, sampai hari ini, dari dua video yang kutonton malam itu adalah..
seseorang di antara mereka berkata,
"Aku tidak pernah merencanakannya. Kupikir tidak akan ada yang mengerti, sampai akhirnya aku.. 'bicara' (lagi)."
--seseorang tidak harus merasa cukup kuat untuk melalui badai seorang diri.
Saat menyaksikan itu, aku refleks menjawab, "できないよね、私なら。"
--tidak bisa; aku tidak bisa kalau disuruh bicara. Semustahil.. itu?
Aku memutuskan tidur. Perasaanku cukup membaik setelah beberapa tetes air mata.
Keesokannya.. berarti hari ini? Aku mulai membalas tumpukan pesan yang belum sempat kulirik selama beberapa abad--oke, itu hiperbola. Di antaranya ada pesan dari sahabatku sejak 2014.
"HAIII POOOO."
'Po' dari 'Bakpo' karena wajahku bulat, seperti biasa. Pesannya cukup banyak. Mungkin karena kami terbiasa membalas pesan hampir setelah dua minggu berlalu, jadi sekalian saja banyak-banyak.
"APA KABARR??"
dan sederet pesan lainnya.
Awalnya aku ingin membalas dengan jawaban klasik.
"Alhamdulillaah baikk kokk, kamu gimanaa?"
Akan tetapi, video yang kusimak malam sebelumnya membuatku terperenyak dan berpikir, "Sampai kapan ingin kupadatkan? Sampai tubuhku merasakan Big Bang?"
"Sebenarnya kemarin..."
.
.
Kalau teman-teman berpikir aku sedang sangat tidak baik-baik saja, tidak kok. Semuanya masih terkendali. Mungkin aku kelelahan, atau sedang waktunya saja untuk suasana hatiku meronta-ronta tidak stabil.
Satu yang pasti, yang kuperoleh dari keseharianku dalam.. kurang lebih 72 jam terakhir, physical distancing memang sangat dituntut di tengah pandemi seperti ini,
tapi tidak dengan social distancing--
--ingat, WHO sudah secara resmi menganjurkan pergantian frasa social distancing menjadi physical distancing per tanggal 20 Maret 2020.
"We're changing to say physical distance and that's on purpose because we want people to still remain connected." (WHO, 2020)
Pasti ini adalah salah satu alasan juga bukan, mengapa manusia disebut sebagai makhluk sosial?
.
.
Walaupun tidak setiap rasa dapat terejawantahkan dalam kata,
bicara sering kali menjadi alternatif yang baik
untuk menumpahkan sesuatu yang barangkali tidak lagi elok disimpan lama-lama.
.
.
Tidak semudah membalikkan telapak tangan, sih,
tapi tetap semangat, ya,
untuk kamu,
aku,
kita semua.
Setelah 21 jam tidak tidur, aku terlelap selama hampir enam jam sampai pukul tiga pagi. Iya, siklus tidurku berantakan selama di rumah.
Yang kurasakan saat itu adalah.. kosong. Sampai waktunya sahur, aku terdiam; merenung. Apa saja yang sudah kulakukan? Apakah aku boleh tidur? Tugas apa lagi yang belum kuselesaikan?
Aku berniat menulis beberapa saat setelah matahari terbit,
tapi tidak ada yang tertuang sama sekali pada layar.
Rasanya.. aku cemas.
Aku kembali ke kasur; menenggelamkan diri dalam selimut.
Kalau aku sedang tidak bisa melakukan apa-apa, mungkin aku butuh istirahat.. lagi? Aku masih punya sisa dua jam jika tidur yang baik adalah delapan jam, begitu pikirku.
Singkatnya, aku terbangun lima jam kemudian. Sedikit syok, dan merasa tidurku membuang waktu, tapi mengingat ada tugas yang dikejar untuk malam ini, lagi-lagi aku tidak punya waktu untuk menyesal dan menangis.
Semua berlalu dengan cepat sampai waktu menunjukkan pukul setengah satu pagi. Yang harus kukerjakan, hari itu, mestinya sudah selesai. Mestinya, aku beristirahat. Namun, aku terdorong untuk menonton dokumentasi mereka yang mengidap depresi di YouTube. Apakah aku memancing diriku sendiri? Semoga tidak.
Akhirnya aku memang menangis; sengaja kurekam--tidak untuk dibagikan demi pansos, kok--agar aku "merasa segan" kalau-kalau ingin histeris. Saat kusaksikan lagi, aku jelek juga saat menangis. Hahahaha.
Namun, yang masih terekam dalam kepalaku, sampai hari ini, dari dua video yang kutonton malam itu adalah..
seseorang di antara mereka berkata,
"Aku tidak pernah merencanakannya. Kupikir tidak akan ada yang mengerti, sampai akhirnya aku.. 'bicara' (lagi)."
--seseorang tidak harus merasa cukup kuat untuk melalui badai seorang diri.
Saat menyaksikan itu, aku refleks menjawab, "できないよね、私なら。"
--tidak bisa; aku tidak bisa kalau disuruh bicara. Semustahil.. itu?
Aku memutuskan tidur. Perasaanku cukup membaik setelah beberapa tetes air mata.
Keesokannya.. berarti hari ini? Aku mulai membalas tumpukan pesan yang belum sempat kulirik selama beberapa abad--oke, itu hiperbola. Di antaranya ada pesan dari sahabatku sejak 2014.
"HAIII POOOO."
'Po' dari 'Bakpo' karena wajahku bulat, seperti biasa. Pesannya cukup banyak. Mungkin karena kami terbiasa membalas pesan hampir setelah dua minggu berlalu, jadi sekalian saja banyak-banyak.
"APA KABARR??"
dan sederet pesan lainnya.
Awalnya aku ingin membalas dengan jawaban klasik.
"Alhamdulillaah baikk kokk, kamu gimanaa?"
Akan tetapi, video yang kusimak malam sebelumnya membuatku terperenyak dan berpikir, "Sampai kapan ingin kupadatkan? Sampai tubuhku merasakan Big Bang?"
"Sebenarnya kemarin..."
.
.
Kalau teman-teman berpikir aku sedang sangat tidak baik-baik saja, tidak kok. Semuanya masih terkendali. Mungkin aku kelelahan, atau sedang waktunya saja untuk suasana hatiku meronta-ronta tidak stabil.
Satu yang pasti, yang kuperoleh dari keseharianku dalam.. kurang lebih 72 jam terakhir, physical distancing memang sangat dituntut di tengah pandemi seperti ini,
tapi tidak dengan social distancing--
--ingat, WHO sudah secara resmi menganjurkan pergantian frasa social distancing menjadi physical distancing per tanggal 20 Maret 2020.
"We're changing to say physical distance and that's on purpose because we want people to still remain connected." (WHO, 2020)
Pasti ini adalah salah satu alasan juga bukan, mengapa manusia disebut sebagai makhluk sosial?
.
.
Walaupun tidak setiap rasa dapat terejawantahkan dalam kata,
bicara sering kali menjadi alternatif yang baik
untuk menumpahkan sesuatu yang barangkali tidak lagi elok disimpan lama-lama.
.
.
Tidak semudah membalikkan telapak tangan, sih,
tapi tetap semangat, ya,
untuk kamu,
aku,
kita semua.
Terima kasih! ^ ^
BalasHapusHai, Zara. Blog-nya keren! Semangat terus, ya! Btw gimana caranya biar blognya langsung .com? apakah perlu membeli domain? terima kasih
BalasHapusHalo! Terima kasiih yaa, udah dateng ke blog inii dan ninggalin komen ^ ^ Iyapp, akuu beli domain di DomaiNesia ^ ^
Hapus