- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Saya melihat sebuah mimpi; saya terbangun tepat pada pukul 01.00 WIB.
.
Minggu lalu dihiasi air mata hingga menyakitkan kepala, tetapi minggu ini semuanya tampak lebih baik-baik saja. Tidak, semuanya seperti sudah baik-baik saja, bahkan tugas-tugas yang sempat menumpuk sekalipun. Apakah memang demikian, ataukah saya terlalu memaksakan diri untuk menyegerakan semua baik-baik saja, saya tidak tahu.
Namun, hingga kemarin malam, saya masih teriritasi oleh hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan. Saya berpikir keras mengenai kenapa ya aku mudah banget tersinggung begini, kemudian jatuh terlelap.
Akhir-akhir ini, saya jarang melihat mimpi. Tertidur, dimakan gulita, kemudian tersentak bangun tanpa alarm--iya, saya jarang membuat alarm, sebuah kenekatan menghadapi kelas pagi.
Akan tetapi, kemarin malam berbeda. Setelah tidur yang ibarat mimpi panjang untuk dikendarai, saya terbangun pada pukul 01.00 dan merenungkan makna mimpi tersebut--benar-benar hanya mematung dan merenung--selama tujuh menit.
Akan tetapi, kemarin malam berbeda. Setelah tidur yang ibarat mimpi panjang untuk dikendarai, saya terbangun pada pukul 01.00 dan merenungkan makna mimpi tersebut--benar-benar hanya mematung dan merenung--selama tujuh menit.
.
.
Permulaan mimpi sebenarnya sudah mengabur. Kalau tidak salah, saya diundang ke sebuah acara di restoran, lalu berjalan menuju wastafel, dan suasana selebihnya terlihat oke. Namun, saya masih ingat jelas bahwa langkah menuju wastafel itu membawa insekuritas dalam dada. Saya khawatir akan penampilan saya, saya khawatir akan tatapan orang terhadap saya, saya khawatir akan anggapan yang berbeda, dan entah kenapa saya ingin keluar dari keramaian yang hangat itu.
Mimpi berikutnya, satu mimpi yang aneh tatkala saya dan teman saya menjatuhkan bom ke sebuah apartemen semata-mata untuk melihat reaksi ibu peri. Konklusinya, saya masih tidak dapat percaya kepada orang lain, bahkan kepada ibu peri yang dalam mimpi itu--sebelumnya--digadang-gadang menjadi sosok andalan untuk menyelamatkan hidup manusia. Bahkan, saya mestinya tidak dapat memercayai diri sendiri yang tega menjatuhkan bom, dalam mimpi tersebut.
Yang selanjutnya, seonggok mimpi yang tidak kalah mustahil, saya bersama teman-teman berjuang melawan seekor monster yang wujudnya tidak pernah saya lihat, tetapi teman-teman saya pernah. Mereka berkata monster tersebut sekali pandang tidak menyeramkan--tampan, malah--tetapi sangat membahayakan jika telah "masuk" ke dalam matanya.
Teman-teman dan saya menyerang dari kejauhan, dengan satu dua orang dikirim untuk berhadapan langsung dengan si monster. Namun, setelah saya membidik dari kejauhan, saya menyadari yang saya lukai adalah teman satu regu saya. Melalui sambungan suara, dia bilang dia tidak apa-apa meskipun terhempas ke sebuah sungai, tetapi--anehnya--sepenglihatan saya, dalam kepala saya, sosoknya sedang terluka dan bersusah payah bangkit, akibat ulah saya.
Latar tempat berubah menjadi sebuah rumah, rumah musuh yang kami mesti mengendap-endap di dalamnya. Saya mengumpulkan teman-teman yang menyerang dari kejauhan, mencoba menginstruksikan bahwa kita harus dibagi menjadi tiga tim--saya lupa detailnya, tapi saat itu saya yakin tengah memaparkan solusi yang tepat. Namun, seseorang tidak mendengarkan dan saya marah.
Saya memaparkan seluruh strategi secara frontal, dengan volume suara yang besar sebab dongkol karena tidak dihargai. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang menggunakan toilet--sepertinya komplotan musuh dalam bentuk manusia--dan kami semua terdiam. Teman saya kemudian berbisik, lirih menyebut nama saya, dan saya tahu, saya melakukan hal yang salah, lagi.
Saya berlari meninggalkan teman-teman, merasa tidak aman karena suara saya sudah terdengar. Keberadaan saya telah diketahui musuh, demikian saya kira, maka saya harus bersembunyi. Saya menemukan gudang pakaian dan bersembunyi di antara kain-kain berdebu.
Beberapa waktu berlalu dan tidak ada apa-apa; saya terus bergeming dan tidak mau keluar. Bahkan, ketika terjadi gempa--iya, saya merasakan goncangan hebat dalam mimpi itu--saya tidak peduli dan terus bersembunyi.
Puncak mimpi tersebut adalah ketika terdengar suara-suara memanggil nama saya. Ketakutan saya semakin jadi, bahkan saya membalikkan badan untuk membelakangi pintu gudang yang sejak awal dibiarkan terbuka. Suara-suara itu semakin jelas, mendekat, dan membesar; tenyata suara teman-teman. Seseorang pun masuk--saya ingat jelas siapa orang tersebut, yakni seorang sahabat baik di dunia nyata--dan dia berhenti memanggil. Dia langsung menemukan saya, menghampiri saya, meraih tangan saya, kemudian--anehnya--berkata,
"Zahra lagi sembunyi? Aku lihat Zahra lagi ngembus-ngembus kain, makanya kok ada kain yang gerak-gerak."
...hei, aku lagi diam mematung, lho.
Mendengar penuturannya, hati saya menjawab seolah tidak setuju.
Namun, saya tersadar, badan saya memaksa mengisolasi diri, tetapi jiwa saya meronta, meminta bantuan untuk keluar dari ruang yang sepi.
Namun, saya tersadar, badan saya memaksa mengisolasi diri, tetapi jiwa saya meronta, meminta bantuan untuk keluar dari ruang yang sepi.
Rangkaian mimpi itu berakhir dengan diajukannya empat pilihan: bertemu dengan monster penanda kiamat dunia, menghadapi lagi monster yang katanya tampan tapi belum pernah saya lihat, mati dan menjadi plastik (?), atau mati dan menjadi plastik yang banyak (?).
Kemudian, sepertinya, saya langsung terbangun--tetapi masih dalam tahap setengah sadar--dan batin saya menyahut, "Mendingan mati dan menjadi plastik yang banyak. Siapa tahu plastiknya terbawa angin dan dipakai para tunawisma sebagai alas tidur."
.
.
Sebagian orang mengaku mimpi mengandung makna tertentu, sebagian yang lain menganggap mimpi hanya bunga tidur, dan sebagian yang lain lagi merasa mimpi tidak lebih dari refleksi isi kepala sebelum terlelap.
Saya belajar, khususnya dari mata kuliah fisika dan kalkulus, bahwa dunia dapat dilihat dari tiga sumbu: absis, ordinat, dan aplikat. Akan tetapi, pikiran saya seperti mengejar dimensi keempat. Saya tidak percaya dunia sebatas panjang, lebar, dan tinggi--walaupun secara visual, benar demikian. Dimensi keempat mestinya ada, lantas saya mempertanyakan wujudnya. Bagaimana penampakannya bila disandingkan bersama tiga sumbu lain dalam koordinat kartesius.
Ataukah tidak ada?
Ataukah ada, tapi tidak bisa digambarkan?
Ataukah dimensi keempat bukan hal yang mampu diwujudkan dengan rupa, melainkan sebatas rasa?
.
.
Saat mengetik ini, satu setengah jam telah berlalu sejak saya tersentak, tetapi bibir saya belum mengeluarkan sepatah kata. Apakah saya masih tenggelam dalam renungan, ataukah semata-mata karena tidak ada yang bisa diajak bicara di kamar, saya tidak tahu.
Namun, suara yang memanggil nama saya di akhir mimpi terasa nyata.
Suara yang seolah ingin berkata,
kamu meluka, bersalah, terjatuh, berulang kali,
tapi berhenti melarikan diri lagi,
aku ingin kamu mengerti,
kamu tidak sendiri.
Membangunkan saya yang terburu-buru melihat jam,
01.00.
Komentar
Posting Komentar