- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
The first million is the hardest. Mendengarnya, saya teringat satu film yang saya tonton semasa putih biru: Mimpi Sejuta Dolar. Kisah Merry Riana, meski detailnya tidak lagi terang, sangat membekas dan meninggalkan jejak dalam memori saya yang cenderung berjangka pendek. Maka, jika teman-teman menyebut nama wanita tersebut, yang langsung muncul di pikiran saya hanya dua: semangat dan pantang menyerah.
Saya merasa mulai kehilangan dua hal tersebut sejak kelas sebelas. Menuju akhir SMA, sedikit banyak saya lebih tekun belajar, mungkin karena ujian akhir memberikan tekanan. Namun, itu masih jauh berbeda dari diri saya yang jauh bergairah saat pertama kali mengenakan seragam putih abu-abu. Hingga awal libur panjang pasca-UN pun, bohong kalau dikatakan saya tidak pernah bergeliat manja di atas kasur. Membuang waktu, hampir-hampir seharian suntuk saya memandangi gawai seolah-olah begitu penting.
Alasannya selalu sama. Terlalu malas mengambil langkah pertama menjadi produktif. Walaupun berhasil bangun di pagi hari, terkadang melangkah mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi rasanya berat sekali. Jangankan itu. Sering juga bangun di pagi hari pun sulit. Ayam sudah serak berkokok, kelopak mata baru mencoba membuka. Itu pun tidak ikhlas. Padahal, kalau sudah dimulai, badan tinggal mengikuti apa yang sudah dilakukan sejak dua menit pertama.
Jadi, bagi saya, benarlah kalimat yang pertama adalah yang tersulit. Semakin direnungkan, saya menemukan empat alasan utama mengapa hal tersebut terjadi pada saya--dan mungkin pada teman-teman juga--yakni:
1. Tidak ada tujuan;
2. Kurangnya motivasi;
3. Berada di zona nyaman; dan
4. Merasa esok selalu datang.
Poin yang mana pun, tidak ada yang tidak lebih berbahaya. Semuanya mematikan, apalagi jika berlangsung terus-menerus.
Tidak ada tujuan, satu paket dengan kurangnya motivasi, lama-lama mengantarkan kita pada kehidupan yang tidak ada gunanya. Lho, iya, wong tujuan dan motivasi hidup saja tidak ada! Syukur-syukur kalau sudah hidup mandiri. Kalau masih bergantung dengan orang lain? Saya jadi teringat dengan tumbuhan bernama ilmiah Loranthus.
Berada di zona nyaman, umumnya diikuti dengan perasaan esok akan selalu datang (dan tetap dalam zona nyaman), juga sama mematikan dengan dua poin sebelumnya. Kalau yang ini, sih, mengingatkan saya pada kata-kata orang tua. "Hidup itu seperti roda; berputar." Atau.. "Jangan seperti air yang mengalir, tahu-tahu sudah sampai di hilir." Yang paling mengerikan, belum sempat berubah--bukan transformer, lho, ya--ternyata hari esok tidak datang lagi. Yang namanya makhluk bernyawa, pasti akan merasakan mati, kan? Sayang sekali, ya, kita tidak seperti makanan, atau obat-obatan, yang diberi tahu kapan akan kedaluwarsa.
Namun, Tuhan itu adil, kok. Tubuh kita memang tidak dihiasi kata-kata expired date atau best before, tapi di dalam kepala kita terdapat materi putih dan materi abu-abu (baca: otak) yang mestinya membuat kita bertindak bijak walaupun tidak tahu kapan akan berakhir masa berlakunya.
Kalau sudah seperti ini, yang harus dilakukan hanya membalikkan empat poin di atas menjadi:
1. Adakan tujuan;
2. Tambah motivasi;
3. Keluar dari zona nyaman; dan
4. Jangan sok yakin esok akan datang.
Itu saja?
Lah, iya, kebanyakan teori juga tidak baik tho. Tidak apa-apa cuma empat poin, asalkan empat-empatnya dipahami, asalkan empat-empatnya diimplementasikan dengan baik, asalkan empat-empatnya bisa membuat kita melalui langkah pertama yang katanya paling sulit itu.
Katanya ingin menduduki peringkat pertama, masa langkah pertama saja sudah melambaikan tangan?
Saya merasa mulai kehilangan dua hal tersebut sejak kelas sebelas. Menuju akhir SMA, sedikit banyak saya lebih tekun belajar, mungkin karena ujian akhir memberikan tekanan. Namun, itu masih jauh berbeda dari diri saya yang jauh bergairah saat pertama kali mengenakan seragam putih abu-abu. Hingga awal libur panjang pasca-UN pun, bohong kalau dikatakan saya tidak pernah bergeliat manja di atas kasur. Membuang waktu, hampir-hampir seharian suntuk saya memandangi gawai seolah-olah begitu penting.
Alasannya selalu sama. Terlalu malas mengambil langkah pertama menjadi produktif. Walaupun berhasil bangun di pagi hari, terkadang melangkah mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi rasanya berat sekali. Jangankan itu. Sering juga bangun di pagi hari pun sulit. Ayam sudah serak berkokok, kelopak mata baru mencoba membuka. Itu pun tidak ikhlas. Padahal, kalau sudah dimulai, badan tinggal mengikuti apa yang sudah dilakukan sejak dua menit pertama.
Jadi, bagi saya, benarlah kalimat yang pertama adalah yang tersulit. Semakin direnungkan, saya menemukan empat alasan utama mengapa hal tersebut terjadi pada saya--dan mungkin pada teman-teman juga--yakni:
1. Tidak ada tujuan;
2. Kurangnya motivasi;
3. Berada di zona nyaman; dan
4. Merasa esok selalu datang.
Poin yang mana pun, tidak ada yang tidak lebih berbahaya. Semuanya mematikan, apalagi jika berlangsung terus-menerus.
Tidak ada tujuan, satu paket dengan kurangnya motivasi, lama-lama mengantarkan kita pada kehidupan yang tidak ada gunanya. Lho, iya, wong tujuan dan motivasi hidup saja tidak ada! Syukur-syukur kalau sudah hidup mandiri. Kalau masih bergantung dengan orang lain? Saya jadi teringat dengan tumbuhan bernama ilmiah Loranthus.
Berada di zona nyaman, umumnya diikuti dengan perasaan esok akan selalu datang (dan tetap dalam zona nyaman), juga sama mematikan dengan dua poin sebelumnya. Kalau yang ini, sih, mengingatkan saya pada kata-kata orang tua. "Hidup itu seperti roda; berputar." Atau.. "Jangan seperti air yang mengalir, tahu-tahu sudah sampai di hilir." Yang paling mengerikan, belum sempat berubah--bukan transformer, lho, ya--ternyata hari esok tidak datang lagi. Yang namanya makhluk bernyawa, pasti akan merasakan mati, kan? Sayang sekali, ya, kita tidak seperti makanan, atau obat-obatan, yang diberi tahu kapan akan kedaluwarsa.
Namun, Tuhan itu adil, kok. Tubuh kita memang tidak dihiasi kata-kata expired date atau best before, tapi di dalam kepala kita terdapat materi putih dan materi abu-abu (baca: otak) yang mestinya membuat kita bertindak bijak walaupun tidak tahu kapan akan berakhir masa berlakunya.
Kalau sudah seperti ini, yang harus dilakukan hanya membalikkan empat poin di atas menjadi:
1. Adakan tujuan;
2. Tambah motivasi;
3. Keluar dari zona nyaman; dan
4. Jangan sok yakin esok akan datang.
Itu saja?
Lah, iya, kebanyakan teori juga tidak baik tho. Tidak apa-apa cuma empat poin, asalkan empat-empatnya dipahami, asalkan empat-empatnya diimplementasikan dengan baik, asalkan empat-empatnya bisa membuat kita melalui langkah pertama yang katanya paling sulit itu.
Katanya ingin menduduki peringkat pertama, masa langkah pertama saja sudah melambaikan tangan?
Inspired!
BalasHapusThank you! ^^
HapusEverything is simply related to me. Sulit untuk memulai, namun selalu percaya kalau semua dimulai dari setapak langkah kedepan.
BalasHapusInspired me as well, thank you.
Setuju 100%! Terima kasih ^^
HapusVery relatable
BalasHapusGlad to know that. Thank you! ^^
Hapus