Langsung ke konten utama

conflict

Saat Itu, Kenapa Aku Tidak ... ?

Membicarakan manusia, tidak lepas dari alpa. Ada hal yang direncanakan, tapi berjalan di luar angan. Ada hal yang disusun rapi, kemudian berantakan di luar kendali. Dunia seperti itu. Tidak semua iya berakhir iya, tidak semua tidak berakhir tidak.


.

.

Saat itu, saya duduk di kelas sebelas, bertetangga dengan para senior kelas unggulan. Entah tugas setiap kelas atau khusus bagi mereka, beberapa waktu setelah itu, tercipta taman baru pada kanopi pendek di atas kelas mereka. Saya menyebutnya "taman baru di lantai 1.5".

Terdapat tiga pot panjang tanaman merambat. Rangkaian pipa paralon ada di sana-sini--awalnya saya kira didesain untuk pengairan otomatis. Kemudian, setiap hari, salah seorang dari mereka pergi menyiram sebelum dan sepulang sekolah. Gembor berwarna biru ditenteng dari kelas menuju tempat wudhu, diisi air hingga penuh, kemudian dibawa ke lantai dua untuk menyiram dari atas.

Pernah juga--saat itu hari Minggu--berkas saya tertinggal dan saya menyempatkan diri ke sekolah. Ternyata, beberapa orang dari mereka tidak meliburkan diri; justru bahu membahu menyusun meja dan kursi, memanjat ke lantai 1.5, dan mengurusi tanaman rambat tersebut.

Percayalah, saya tidak pernah tertarik pada tumbuhan dan teman-temannya. Taman rumah saya hijau dan asri, semata-mata karena Nenek sangat rajin bercengkerama dengan tanaman. Saya tidak pernah ambil bagian. Saya tidak mengerti apa menyenangkannya mengurus bunga atau menyiram dedaunan. Saya lebih memilih menghabiskan sore dengan bermain bersama kucing atau sekadar mendengar Nenek bercerita, dengan tangan beliau sibuk mengurus tunas dan pupuk.

Namun, seiring waktu berlalu, kakak kelas meninggalkan sekolah--dengan segala pernak-perniknya--terlebih dahulu. Kelas unggulan itu kini ditempati teman-teman seangkatan yang sama-sama berlabelkan "anak kelas unggulan". Hanya saja, taman tersebut belum menemukan pemilik--atau pengurus--baru. Perlahan-lahan, di depan mata saya, dedaunan tanaman merambat itu mengering. Ranting demi rantingnya mulai kehilangan warna hijau, berganti warna cokelat yang tidak menggoda untuk dimakan.

Sial.

Saya merutuk, dalam hati.

Saya tidak tahan menyaksikan tanaman itu sekarat, sementara bayangan senior yang menyiram tanaman tersebut--setiap pagi, setiap sore, senyuman itu--bergentayangan dalam pikiran. Saya seperti melihat seekor kucing kelaparan, seperti mendengar ngeong yang melirih, "Majikan, aku akan mati! Di mana ikan goreng yang biasa kau berikan?"

Semata-mata sebab itulah, saya mengetuk pintu, menyapa mereka yang mendiami kelas unggulan, lalu berkata, "Aku pinjam gembor birunya, ya?"

Sebenarnya tidak buruk juga, perasaan menyirami tanaman dan menyaksikannya berangsur-angsur pulih--meskipun sebagian di antaranya sudah tidak terselamatkan. Kadang-kadang, saya menceletuk kepada teman dekat saya di kelas unggulan tersebut.

"Harusnya kalian yang mengurus tanaman itu! Tengok, udah mau mati mereka!"
"Ayolah, sebelum ke bimbel, kita siram gantian!"

Kadang-kadang pula, saya menghubungi senior yang menjadikan taman itu ada, entah menanyakan apa yang harus dilakukan atau sekadar mengabari kondisi tanaman tersebut.

Kendati demikian, saya akui saya tidak mampu bertindak seperti pengurus taman itu sebelumnya. Memasuki fase ujian di akhir kelas sebelas, saya tidak lagi sering berjumpa dengan gembor biru. Terkadang, panggilan belajar tambahan menggesa-gesakan, membuat saya meninggalkan sekolah sebelum memberi asupan air harian pada tanaman merambat. Apalagi, di pagi hari, di saat bel berbunyi, di saat itulah saya melewati gerbang yang nyaris ditutup, terengah-engah. Tidak terlambat saja bersyukur, bagaimana mau menyiram di pagi hari?

Namun, ketika sesuatu--atau seseorang--pergi dari lingkar kehidupan, ketika itulah manusia disadarkan tentang pentingnya sesuatu yang hilang. Ketika itulah andaikan, kenapa, dan sederet kata menyesal lainnya terlontar.

.

.

Saat itu, saya duduk di kelas dua belas pertama kali, memasuki lapangan untuk membantu berlangsungnya masa orientasi siswa. Namun, sebelum saya sempat memandangi satu per satu adik kelas yang baru, saya menyadari tiga pot panjang sudah tidak ada. Rangkaian pipa paralon sudah tidak ada. Ranting-ranting yang menangkap butir hujan sudah tidak ada. Tanaman rambat tersebut, yang sebagian sudah kerontang dan merusak pandangan, sudah tidak ada.

Saya merutuk, lagi, entah apa gunanya, menerima rasa bersalah seolah tidak bisa mempertahankan sesuatu yang pernah diperjuangkan. Saya sering berpikir, "Oke, nanti akan kusiram," dan pergi begitu saja, tapi siapa yang tahu siapa yang pergi terlebih dahulu. Kalimat yang pernah saya baca itu benar. Later can be never. Nanti bisa jadi tidak ada waktu lagi.

Apakah saya melebih-lebihkan kisah tiga pot tanaman merambat? Saya tidak tahu. Namun, disebut apakah sedih dan bersalah yang tidak hilang pun satu tahun berlalu? Seandainya orang-orang berpikir "I still can't relate", saya tidak akan memaksa, tapi demikianlah sepenggal contoh tentang sesal yang selalu muncul di akhir cerita.

Sebab pengalaman itulah saya teringat kata-kata yang pernah saya baca, lagi. Lebih baik menyesal karena melakukan sesuatu, daripada menyesal karena tidak melakukan sesuatu. Lebih baik malu dan belajar dari kesalahan, daripada berkata,

"Saat itu, kenapa aku tidak ... ?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Download Digimon Adventure 01 (1 - 54 [END]) Subtitle Indonesia

Minna, ohayou! Kesempatan kali ini, Miichan ingin membagikan link   download  untuk anime   Digimon , tepatnya yang season  1, yaitu Digimon Adventure 01. Apa kalian pernah dengar? Mungkin untuk 'Digimon' keseluruhan ( yang mencakup 7 season ) kalian pernah mendengar atau malah menontonnya. Terlebih lagi Digimon Xros War ( Miichan kurang tahu itu season ke berapa ) saat ini tengah ditayangkan di Indosiar. (Baca juga yuk >>  Apa Itu Digimon? ) Tetapi, Digimon Adventure 01 adalah season paling pertama yang mungkin tidak begitu terkenal lagi sekarang. Meskipun begitu, setelah Miichan survei, banyak penyuka Digimon yang mengaku season inilah yang paling seru, bersama dengan Digimon Xros War. Dahulu, season ini juga ditayangkan di Indosiar. Sekitar 6 - 7 tahun yang lalu kalau tidak salah, saat Miichan masih kelas 2 - 3 SD '-' Menurut Miichan, rating  Digimon Adventure 01 ini K+. Genre nya adalah adventure , friendship , dan fantasy . Di Digimon Adve...

[Mitos] Rahasia Minmie

Konban wa~ Miichan lagi melihat-lihat artikel terbaru dari blog yang Miichan ikuti di beranda  blogger.com  dan menemuka artikel ini bersumber dari  sini . Nee , awalnya Miichan juga terkejut membacanya mengenai Minmie. Siapa yang tidak tahu Minmie coba? Miichan yakin semuanya pasti tahu. Banyak pernak-pernik, aksesoris, dan barang-barang yang berhiaskan atau ber cover  karakter kawaii  yang satu ini. Tapi dibalik ketenaran dan kecantikannya ini, apa banyak yang tahu misteri dibalik karakter ini? Apa kalian pernah berpikir kenapa mata Minmie selalu merem? Apa dia punya eyesmile kah? Dan kenapa lidahnya melet sedikit?

Writing This Because I Rarely See Them Anymore

Do you ever feel like you're still on holiday, waiting to return to the classroom and see your friends again? It's a strange feeling, isn't it? For me, it's a constant thought, even though graduation is already in the past. The two years of the pandemic stole precious moments from me, moments I could have spent in a real classroom. It feels like just yesterday I was sitting behind my friends, listening to the professor, and marveling at my classmates, thinking, "Wow, they're so smart. What will they become in the future?" Well, now I'm living in that future. It's only been a year since graduation, but through social media, I see my friends thriving. Some work at consulting agencies, some are in government roles, others have stayed in academia, while some have ventured into business or banking. I'm a real adult now, with real responsibilities and priorities. It's surreal to realize that I can't just meet up with my friends easily anymore...