- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Minna~!
Miichan kembali ikut lomba cerita yang diadakan oleh Miiko-chan.. Karena ini adalah lomba cerita, Miichan rasa fanfic termasuk cerita juga bukan? Jadi tak masalah, ya, Miichan mengikuti lomba ini dengan cerita yang merupakan fanfic (^^)
Mohon komentar, kritik, dan sarannya, ya. Karena fanfic ini tidak hanya Miichan persembahkan untuk lomba, tetapi untuk pembaca blog Miichan sekalian (^^)
Rules
Biodata
Tidak ada yang ingin kulakukan. Apa yang aku inginkan sudah kukerjakan. Tidur, misalnya. Sudah puas tadi malam aku berkelana di dunia mimpiku. Bisa-bisa aku mual jika kebanyakan tidur. Minum teh? Oh, rasanya perutku sudah kembung. Jadinya hanya berdiam diri sambil memandang jauh ke luar jendela, dengan pikiran yang melayang-layang tanpa struktur. Daun yang telah gugur di luar sana juga tampak melayang-layang. Diajak menari oleh hembusan angin kecil yang nakal.
Apa yang bisa kulakukan untukmu?
Jauh di dalam lubuk hatiku, pertanyaan itu terus melompat-lompat. Sedangkan otakku yang sedari tadi berputar belum kunjung mendapat jawabannya. Aku tidak bisa menggantikan matanya, jika ia tersesat dalam kegelapan. Bahkan tidak bisa membelikan cokelat kecil yang terasa pahit dan manis di saat bersamaan yang dijual di toko-toko. Yah, sama halnya cokelat, sebuket bunga pun tak mampu aku bawakan untuknya. Jangan memintaku memetik setangkai bunga liar sembarangan. Mereka juga makhluk hidup yang ingin merasakan kehidupan, sama halnya manusia.
Jemari tangan kananku kemudian menyelipkan helai-helai rambut hitam yang menutupi mataku ke belakang telinga, sementara jemari tangan kiri tetap di meja dengan telunjuk yang mengetuk-ngetuk. Angin sedikit bertiup memasuki ruangan saat aku mulai membatin lagi.
Miichan kembali ikut lomba cerita yang diadakan oleh Miiko-chan.. Karena ini adalah lomba cerita, Miichan rasa fanfic termasuk cerita juga bukan? Jadi tak masalah, ya, Miichan mengikuti lomba ini dengan cerita yang merupakan fanfic (^^)
Mohon komentar, kritik, dan sarannya, ya. Karena fanfic ini tidak hanya Miichan persembahkan untuk lomba, tetapi untuk pembaca blog Miichan sekalian (^^)
Rules
- Follow blog-ku. Nanti Miichan coba lagi. Tadi mau ngefollow cuma nggak bisa =3=
- Memilih hadiah min 2 (max 5) kalau menang Ok.
- kalau mau join bilang di comment Ok.
- Add id line aku: sandramagfirah*yang punya saja Udah dari kapan tahu, Miiko-chan ' - ')
- Mengisi biodata dibawah! Ok.
Biodata
- Nama: Zahra Annisa Fitri
- E-mail: zahraannisafitri@gmail.com
- Kelas: 8 / 2 SMP
- Umur: 13 tahun
Hadiah
- Link download App Rhonna Design
- Link download App Catwang full
- Link download App Viva video Pro
- Link download App Overlays
- Aku buatin cerita(pemerannya kamu yang nentuin)
- Buat blog bareng
- Aku editin foto kamu
- Aku buatin quotes
- Aku kasih lirik lagu(bebas)
- Aku kasih satu video di youtube(Bebas)
- 3 foto anime(bebas)
Cerita:
Itsudemo Soba ni Iru
(Aku akan selalu ada di sisimu)
.
.
ErenXMikasa Fanfiction
.
Plots are mine but Shingeki no Kyojin belongs to Hajime Isayama-sensei
Also, thanks for Watanabe Mayu for her song, "Itsudemo Soba ni Ite Ageru" that be inspiration for this fic
.
Happy reading!
.
Aku mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjukku. Membuat melodi sederhana yang mudah diingat, meskipun pengetahuanku tentang musik sebenarnya tidak begitu banyak. Hari ini, Korporal Levi bersama para petinggi Recon Corps lainnya mengadakan rapat mendadak untuk ekspedisi minggu depan. Jadi kami sebagai anggota regunya diberi waktu bebas untuk melakukan hal apapun. Misalnya Connie, berkesempatan untuk menjahili Sasha dengan bebas. Atau Armin yang pergi ke gudang, mencoba mencari buku-buku sejarah yang terselip. Sementara Jean dan Historia, memutuskan bermain kartu di ruang tengah. Dan Eren.. ah, mungkin dia pergi bersama Armin.Tidak ada yang ingin kulakukan. Apa yang aku inginkan sudah kukerjakan. Tidur, misalnya. Sudah puas tadi malam aku berkelana di dunia mimpiku. Bisa-bisa aku mual jika kebanyakan tidur. Minum teh? Oh, rasanya perutku sudah kembung. Jadinya hanya berdiam diri sambil memandang jauh ke luar jendela, dengan pikiran yang melayang-layang tanpa struktur. Daun yang telah gugur di luar sana juga tampak melayang-layang. Diajak menari oleh hembusan angin kecil yang nakal.
Apa yang bisa kulakukan untukmu?
Jauh di dalam lubuk hatiku, pertanyaan itu terus melompat-lompat. Sedangkan otakku yang sedari tadi berputar belum kunjung mendapat jawabannya. Aku tidak bisa menggantikan matanya, jika ia tersesat dalam kegelapan. Bahkan tidak bisa membelikan cokelat kecil yang terasa pahit dan manis di saat bersamaan yang dijual di toko-toko. Yah, sama halnya cokelat, sebuket bunga pun tak mampu aku bawakan untuknya. Jangan memintaku memetik setangkai bunga liar sembarangan. Mereka juga makhluk hidup yang ingin merasakan kehidupan, sama halnya manusia.
Jemari tangan kananku kemudian menyelipkan helai-helai rambut hitam yang menutupi mataku ke belakang telinga, sementara jemari tangan kiri tetap di meja dengan telunjuk yang mengetuk-ngetuk. Angin sedikit bertiup memasuki ruangan saat aku mulai membatin lagi.
.
.
Aku hanya akan terus berdoa untuk kebahagiaanmu
Serta mencoba melindungimu dari kejauhan
Atau jika boleh berharap yang muluk-muluk..
Biarkan suatu hari nanti aku berlari di tengah hujan
Untuk membawakan payung kepadamu.
.
.
Menghela napas pelan sebelum kembali membatin, dengan mengukir senyum yang sangat tipis. Aku pun bertopang dagu.
.
.
Karena hanya itu yang bisa kulakukan untukmu, Eren..
.
.
Sebelum akhirnya kusadari bahwa dia tengah menepuk pundakku. Membangunkanku dari tidur tak terduga.
“Mikasa? Korporal Levi menyuruh kita berkumpul di ruang tengah,”
*****
Sudah dapat dipastikan. Minggu depan, kami akan kembali mengadakan ekspedisi ke-59 dengan harapan tidak mengulang kesalahan yang sama. Karena itulah Korporal menjadwalkan hari esok untuk menerangkan tentang formasi yang akan digunakan, serta detail-detail ekspedisi kali ini yang katanya sedikit berbeda dengan 58 ekspedisi sebelumnya.
Aku bosan hanya mendengar detak jam dinding sambil menatap langit-langit kamar. Hei, bukannya aku insomnia atau malas tidur. Tampaknya tidur sesaat pada siang tadi membuat mataku tetap terjaga saat ini. Jadi kuputuskan untuk pergi ke luar sebentar dan duduk di rerumputan hijau, menunggu mataku memberat dan dapat terpejam dengan benar. Sebelum kusadari ada seseorang di sana.
Tunggu. Ini.. suara sesenggukan apa?
“Eren?”
Dia melirik ke arahku sejenak, kemudian kembali membuang muka untuk menyeka air matanya.
“Kau mau apa ke sini, Mikasa?” tanyanya tanpa memandangku. Aku memposisikan dudukku tepat di sebelahnya yang masih berusaha mengusap tangis. Mukanya terlihat merah. Entah karena ia baru saja menangis, malu karena aku datang, atau marah karena kehadiranku.
“Kau kedinginan?”
“Eh? Maksudmu?”
“Sudah berapa lama kau di sini?”
Aku tidak menggubris pertanyaannya sama sekali meski mendengarnya. Malah melontarkan pertanyaan yang lain kepadanya. Eren terdiam, lalu menekuk kedua kaki yang tadi diluruskannya.
“Aku–”
“Mau memakai syalku?”
Ia memicingkan matanya kesal tepat setelah aku bertanya untuk kesekian kalinya. “Mikasa! Bagaimana aku mau menjawab pertanyaanmu coba, kalau kau terus melontarkan pertanyaan baru?” bentaknya kesal. Sebenarnya aku sudah biasa di”seperti-inikan” oleh Eren, tapi entah kenapa saat ini hatiku bergetar mendengarnya.
“Ya, maaf,” Aku mengalihkan perhatian dari wajahnya menuju ke bawah. Memperhatikan rumput-rumput yang bergoyang perlahan.
Ah, ya.. Perasaan suka ini sama halnya muara air dengan pusat pemancarnya adalah dia, Eren. Air yang dipancarkan terus menerus melebar dengan perlahan-lahan, tapi pasti. Membuatku semakin sulit menghentikannya. Muara air bukan pertanyaan, jadi perasaan suka bukanlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Aku ingin jawaban, meski sebenarnya tidak butuh. Mungkin itu hal yang tepat.
“Eren–”
“Aku tidak kedinginan. Kau pakai saja syalmu itu sendiri. Lagipula, berapa lama pun aku di sini, itu tidak masalah, kan?” Eren menyela ucapanku yang belum selesai dengan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku sebelumnya. Mulutku langsung tertutup rapat. Memutuskan untuk tidak usah memberitahukan apa yang ingin kuucapkan padanya tadi.
“Nanti kau sakit, lho,”
Akhirnya itu yang aku katakan. Tidak jadi menyampaikan perasaan ini. Mungkin selamanya pun akan seperti ini, hanya terpendam di dalam lubuk hatiku tanpa pernah berkesempatan untuk keluar. Ia yang saat ini dan seterusnya bergejolak di dalam sana ingin diketahui oleh sosok di sampingku ini, tapi apa boleh buat.
“Ah, tidak mungkin,” bantahnya diikuti suara bersin yang sedikit membuatku tersentak. Tanpa berkata apa-apa lagi, kedua tanganku merupaya melepas syal merah ini dari leherku. Lekas kulilitkan di lehernya dengan perlahan di saat ia sibuk mengusap-usap hidungnya yang tampaknya terasa gatal. Sama seperti yang ia lakukan lebih dari 5 tahun yang lalu. Aku menggertakkan gigiku mengingatnya. Sakit.
“Mikasa!” Eren mengelak tidak mau memakai syal.
“Kalau kau sakit, bisa repot urusannya dengan si pendek itu,”
Ia sedikit tercengang mendengarnya. Buru-buru menggerakkan telunjuk tangan kanannya ke depan mulutnya, “Ssht! Awas kedengaran!"
"Iya, iya, aku mengerti,”
Eren mulai merapikan pemakaian syalnya. Leherku sebenarnya terasa dingin diselimuti angin malam, tapi aku lebih tidak tega melihat Eren bersin-bersin seperti tadi. Aku memutuskan untuk memeluk diriku sendiri agar merasa lebih hangat, sebelum kudengar ia angkat bicara secara mendadak.
“Mau mengenakan syal ini bersama?”
Lucu sekali, Eren, kau tahu?
“Tidak usah, terima kasih,”
“Ayolah, jangan sungkan,”
“Eren!”
Meskipun pada akhirnya kami berbalutkan satu syal, tapi aku merasa bahagia dan bersyukur. Mungkin aku tidak dapat mengucapkan kata “aku suka padamu”, “aku mencintaimu”, “aku naksir sama kamu”, dan berbagai persamaan lainnya kepada Eren. Tapi.. bukankah waktu yang kami habiskan bersama-sama jauh lebih berharga daripada mengucapkan kalimat-kalimat semacam itu berkali-kali? Aku terdiam sambil mengulas senyum tipis. Ya, tampaknya memang benar seperti itu.
Setidaknya kami berdua terus berada di dalam posisi itu merasakan heningnya malam. Sampai akhirnya sosok yang tidak dinantikan–korporal pendek sialan itu menghampiri kami kemudian menendang kami ke ruangan masing-masing.
*****
Hari ini adalah satu hari sebelum ekspedisi ke-59. Ekspedisi kali ini tidak dipimpin oleh seorang komandan, tapi sosok mayorlah yang akan memandu kami menuju tujuan kami–bekas kediaman Yaeger di Shiganshina. Korporal Levi menyatakan bahwa Komandan Erwin akan mengikuti beberapa pertemuan penting bersama petinggi kerajaan–Keluarga Reiss, tidak termasuk Historia karena partisipasinya di ekspedisi ke-59–, juga pemegang posisi penting di pasukan penjaga dinding dan polisi militer. Meski begitu, menurut desas desus yang paling sering kudengar, justru karena Komandan kehilangan tangan kanannya sehingga membuatnya mundur dari posisi puncak di ekspedisi super besar ini.
Tidak hanya itu, masih banyak yang berbeda dalam ekspedisi ini. Misalnya formasi yang hampir 50% berubah di tangan Korporal Levi, dengan usulan dari Mayor Hange dan Armin. Keikutsertaan trainee dari angkatan 105 juga membuatnya berbeda. Jangan lupakan dengan senjata yang bertambah berkat usulan dari beberapa pihak, seperti pistol ataupun tombak. Prajurit pilihan dari garisson dan polisi militer juga dimasukkan dalam bagian ekspedisi, seperti Rico Brzenska, Marlowe Sander, juga Hitch Deliss.
Seperti yang dijadwalkan, kami akan kembali ke kota setelah sarapan. Kemudian menghabiskan makan siang di sana bersama seluruh prajurit yang berpartisipasi, kembali membahas dan mendalami alur rencana, lalu mulai menjalankan ekspedisi di sore hari menjelang malam. Mayor Hange berkata bahwa ini bisa meminimalisir kita bertarung dengan titan. Titan jarang beraktivitas tanpa adanya sinar matahari, bukankah begitu?
Aku menghela napas. Pikiranku sedikit kacau. Memikirkan berapa banyak yang akan gugur berikutnya, berhasil atau gagal lagikah, adakah insiden baru yang akan muncul, bahkan.. apa benar aku dan Eren bisa kembali melihat rumah kami yang dulu meski hanya puing-puing yang tersisa? Rata dengan tanah. Sedikit banyak, kurasa tak ingin kembali lagi ke Shiganshina mengingat banyaknya kenangan buruk yang pernah terjadi di sana.
Korporal Levi berkata bahwa kami diizinkan untuk pergi keluar selama 30 menit sebelum pukul delapan, setelah makan malam.
“Dengan melihat alam dengan udara segar tanpa adanya tekanan, mungkin bisa membuat kalian bertarung sebaik-baiknya besok dengan tujuan kembali merasakan ketenangan ini,” Itu yang dikatakannya tadi saat makan siang.
Coba lihat di sana. Connie dan Sasha beradu panjat pohon di dalam gelap dengan Historia yang berteriak-teriak di bawah, khawatir mereka jatuh lalu cedera berat. Armin dan Jean mengobrol di dekat kandang kuda sambil sesekali tertawa, tapi seketika berekspresi sedih. Membuat suasana di sana menjadi sepi, hanya diriuhkan oleh suara jangkrik. Mungkin mereka cemas ini akan menjadi saat-saat terakhir kami. Aku tidak tahu Eren ada di mana. Tebakanku, dia sedang bersama Korporal Levi di dalam. Diberi nasihat lebih banyak dibanding kami semua karena dia memang spesial, dengan kekuatannya menjadi titan yang menakjubkan. Tapi Korporal justru terlihat menikmati kopinya seorang diri di teras kastil sambil mengasah pedangnya.
Karena curiga, aku masuk ke dalam tanpa mempedulikan tatapan aneh si pengasah pedang.
“Eren?”
Dan kutemukan dia di dekat perapian, sambil sesekali melempar ranting kayu kecil ke pembakaran. Ini bukan musim dingin, jadi kudekati dia karena janggal.
“Eren?”
Aku menyebutkan namanya untuk kedua kalinya, tapi ia tidak bergeming sama sekali. Bahunya kutepuk perlahan. Akhirnya kusadari ia merasa gemetar. Ia menoleh ke arahku dengan ekspresi yang tidak dapat aku jelaskan, seperti paduan dari rasa khawatir, takut, senang, berdebar, dan sebagainya. Aku bertanya ada apa. Dia hanya diam, seolah tak mampu menjawab sambil terus memeluk kedua kakinya yang tertekuk.
Aku ikut diam, menunggu ia berkata.
“Sebenarnya.. ada perasaan aneh saat Korporal berkata kita akan pergi ke rumah kita kembali. Senang, bahagia, tapi.. aku takut dan cemas. Seperti saat dimakan titan dulu,” jelasnya.
Mataku membulat.
Tidak biasanya..
“Kau takut dimakan titan lagi, Eren?”
Ia mengerutkan dahinya, pertanda berkata tidak. “Bukan begitu! Tapi, rumah itu adalah tempat Ibu–”
Saat menyadari perubahan intonasi bicaranya, instingku berkata bahwa aku harus menyuruhnya diam. Tanganku langsung bereaksi dengan membekap mulutnya rapat-rapat tanpa ekspresi. Awalnya ia kaget karena kesulitan bernapas, tapi kemudian ia seperti mengerti dan terlihat lebih tenang. Jemarinya menyingkirkan tanganku dari wajahnya secara perlahan.
“Tidak apa, Mikasa,”
“...”
Aku melihatnya menarik napas pelan, lalu menghembuskannya tak kalah pelan.
“Dari kemarin-kemarin, aku begitu cemas memikirkan ini. Benar-benar tidak seperti biasanya,” Ia ingin menambahkan. “A-A-Ak..” Tapi tak ada kata yang jelas meluncur dari mulutnya.
Kepadanya, kemudian aku berisyarat agar dia tidak melanjutkan kalimat yang ingin dia ucapkan. Dia sangat ketakutan meski disembunyikan rapat-rapat. Tapi, sebagai keluarganya yang sudah tinggal lebih dari lima tahun bersamanya, pasti tahu benar apa yang dia rasakan.
Kepalanya ia sandarkan di bahuku. Sedikit berat, tapi aku tak peduli. Kebersamaan ini yang selalu membuat hari-hariku dilewati dengan bahagia. Tanpa memikirkan hari esok yang mungkin sebagai hari kematian kami dalam ekspedisi.
“Kau masih ingat lagu yang dulu sering dinyanyikan Ibu, Eren?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya singkat.
Dulu, kami bertiga sering duduk di sofa, menonton televisi bersama. Tanpa Ayah, karena kesibukannya di ruangannya yang saat itu belum kumengerti tentang apa. Ketika Eren mulai merebahkan diri dengan kepala di paha Ibu, sedangkan kepalaku hampir merosot dari bahunya, Ibu pasti mulai bernyanyi. Mendendangkan lagu nina bobo versi keluarga Yaeger yang membuat mata kami terpejam seutuhnya. Dalam kehangatan kasih sayang, dengan belaian lembut tangannya di rambut kami.
“Dulu suara Ibu sangat bagus,”
“Tiba-tiba ingin kunyanyikan..” Eren mungkin mengangkat sebelah alis mendengar ucapanku barusan. “.. tapi suaraku sumbang,”
“Coba nyanyikan. Aku ingin mendengarnya lagi setelah sekian lama,”
Berat kepala Eren semakin terasa setelah dua bait. Aku tebak dia sudah setengah tidur meski matanya belum tertutup sempurna–terlihat dari pantulan kaca pengcover lukisan bunga di atas perapian. Pantulan Korporal Levi juga sekilas terlihat menghampiri kami di belakang, tapi berbalik menjauhi kami tanpa berkata apa-apa ketika kulihat siluetnya sudah hilang.
Aku senang jika lagu yang dinyanyikan tak merdu ini bisa menjadi pengantar tidur bagimu, kau tahu?
“Mikasa, aku mengantuk. Tak apa aku tidur seperti ini?”
“Silakan,”
“Kau tak tidur juga?”
“Tidak. Supaya aku bisa mencegah korporal menendang kita ke ruangan tanpa kita sadari, seperti beberapa hari yang lalu,”
“Ada-ada saja,”
Tidak ada suara lagi yang terdengar di dalam ruangan. Aku berpendapat bahwa rekan-rekanku masih di luar dengan dunia mereka sendiri, sama halnya korporal yang tidak bisa aku tebak ada di mana. Mungkin masih mengasah pedang, atau menambah kopi, atau membaca buku di ruangan bawah tanah sendirian. Tidak terbesit di benakku dia sedang tidur, karena dia memang tidak akan tidur sebelum kami semua sudah tertib di tempat tidur masing-masing.
.
.
Alasanku sebenarnya untuk terus membuka mata
Untuk memastikan kau tertidur nyenyak
Dengan senyum yang terulas di wajah
Meski tipis, meski tak dapat dilihat jika hanya sekilas
.
.
Jantungku sedikit berdegup lebih cepat dari biasanya, mungkin dengan wajah yang lebih merah seperti tomat juga. Tapi yang pasti, hatiku terasa sangat hangat dan damai. Tidak ingin bergerak sama sekali. Berharap memiliki mesin penghenti waktu, membuat selamanya akan tetap seperti ini.
.
.
Ah
Juga untuk menyeka–jika ada
Air mata yang akan mengalir
.
.
Aku tidak mengharapkan apa-apa lagi selain seperti ini.
*****
Eren, malam ini aku tidak bisa tidur dengan tenang. Bukan karena ekspedisi yang dilaksanakan esok hari. Apa menurutmu.. seseorang bisa tertidur nyenyak hanya ditemani suara detak jam? Aku ingin menjadi time traveller, kembali ke masa lalu dan tertidur setelah mendengar senandung Ibu bersamamu. Sambil mendengarkan dengkuran dan suara napasmu sampai fajar tiba.
Meski hanya terus bersama-sama tanpa melakukan hal spesial lainnya–apa kau tahu tentang hal seperti kencan? Aku tebak tidak, karena aku juga tidak begitu paham–, aku bersyukur atas kebetulan yang membuatku bertemu denganmu. Terima kasih telah menyelamatkanku dari para pembunuh di sekian tahun silam. Terima kasih untuk seruanmu agar aku terus maju. Terima kasih telah bersamaku. Terima kasih telah mengajariku tetap hidup. Dan terima kasih juga.. telah menyelimutiku dengan syal ini, juga dengan segala perjuanganmu untuk melindungiku.
Aku tidak akan pernah lupa perkataanmu saat bertemu dengan titan pemakan Ibu waktu itu. “Mulai sekarang, kita akan selalu bersama.” Benar kan? Berjanjilah padaku bahwa kau tidak hanya membual saat itu. Dan aku.. juga akan memperjuangkan kebersamaan kita sampai masa yang tidak dapat diperkirakan dari sekarang. Selama berada di sisimu, aku akan berpendapat bahwa semuanya baik-baik saja. Karena kau adalah satu-satunya orang yang pernah kutemui, yang tak akan pernah tergantikan oleh siapapun juga.
Alasan itulah yang membuatku akan selalu ada di sampingmu dalam kondisi apapun. Percayalah, Eren. Tapi, tak ada waktu untuk tenggelam dalam kesedihan lagi. Ayo memulai dan mengakhiri semuanya bersama-sama.
-Mikasa Ackerman-
-TAMAT-
A/N
Hanya ingin mengingatkan bahwa fic ini dibuat dengan referensi 63 chapter SnK. Seperti alasan Miichan memilih Mayor Hange yang akan menjadi pemimpin ekspedisi, adalah karena Komandan Erwin pernah berkata di chapter berapa gitu (?), bahwa komandan selanjutnya adalah Mayor Hange. Tapi Miichan belum membaca chapter 64 yang katanya Mayor Hange pingsan (atau ada beberapa rumor yang mengatakan dia meninggal) di dalam misi merebut Eren dan Historia kembali.
Sempat Miichan buat Hange dipanggil Komandan, tapi kasihan juga Komandan Erwin yang pada dasarnya memang belum turun (?). Ingin menjadikan Hange komandan dengan Erwin yang tetap pada jabatannya, rasanya mustahil Recon Corps memiliki dua komandan xD Mengingat isu di chapter 64, Miichan sempat juga berinisiatif menjadikan Levi sebagai Komandan (?). Tapi itu membuat Miichan bingung dengan posisi anak-anak buah Levi :D
Soal trainee angkatan 105 juga entah benar sudah ada atau belum. Juga terkait Marlowe Sander dan Hitch Deliss, sebenarnya pernah dinyatakan bahwa mereka resmi menjadi trainee angkatan 104 yang diputuskan secara mendadak dan terpaksa. (Sekali lagi) tapi, Miichan bingung tentang siapa perwakilan dari polisi militer yang bisa diikutsertakan ekspedisi. Annie Leonhart jelas-jelas tidak mungkin, apalagi Kenny Ackerman xD Miichan kembali ngasal dengan lagu dari Ibu ataupun suaranya yang merdu, juga seperti apa formasi ekspedisi ke-59 yang telah diubah. Semuanya hanya ditulis sekenanya saja tanpa penjelasan lebih dalam, karena Miichan malas memikirkannya.
Ya sudahlah.
Semoga fanfic ini dapat diterima dan disukai meskipun ada beberapa teori yang terdengar dipaksakan :’D
Cara ganti font gimana, sih, kak?
BalasHapusKak, aku pengen banget ganti font ...
BalasHapusMohon maaf baru bisa Miichan balas, ya, Rafa > <
HapusRafa bisa pergi ke blogger.com seperti biasa, kemudian pilih "Template", klik "Sesuaikan", nanti akan ada pengaturan langsung di blog, pilih "Tingkat Lanjut", nanti akan ada kolom "Font".
Semoga membantu ^^
Ceritanya bagus banget loh. Gak ooc juga. Kalimatnya menarik, dan gak berbelit belit, sehingga santai dibaca. Kesannya kelam dan dalam seperti aslinya. Mungkin memang ada teori yang terkesan dipaksakan tapi tidak begitu terasa/? Menurutku. Aku juga suka penulisan gimana perasaan Mikasa disini. Duh mantep deh pokoknya. Ini di publish tahun lalu ya.. sayang sekali baru baca sekarang, padahal ceritanya bagus.. huhu. Btw gak nyangka loh kalau yang nulis ini gadis berusia 13 tahun. Hoho, keceh deh. /pundung karena gak ada bakat menulis/. :")) btw semangat yah setiap membuat cerita/ff nya!♡
BalasHapusHeee benarkah? Arigatou gozaimasu, Senpai! <3 <3
HapusMiichan sangat termotivasi dan semakin terpacu ^ ^)