- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kayaknya udah lama banget, ya, aku hiatus.. Dari Agustus 2012 sampai Juli 2013, hampir setahun! XD Kali ini aku mau post tentang fanfic Digimon. Temanya dari perpisahan kelas 6 angkatan aku. Alur cerita original, tapi Digimon jelas dimiliki penciptanya (^^)
Inilah Digimon. Yang di samping kiri itu pas masih kecil, yang di kanannya yang udah gede. Dari yang pakai baju biru berkacamata di kepala, itu Yagami Taichi. Di sampingnya yang rambut kuning itu Ishida Yamato. Cewek berambut cokelat di baris ke dua itu Takenouchi Sora. Mereka bertiga itu seumuran. Terus cowok rambut merah namanya Izumi Koushiro, yang rambut pink namanya Tachikawa Mimi. Mereka satu tahun lebih muda dari Taichi, Yamato, dan Sora. Terus yang rambut biru namanya Kido Joe, umurnya satu tahun lebih tua dari Taichi, Yamato, dan Sora. Yang baris paling bawah itu Takaishi Takeru sama Yagami Hikari, itu tiga tahun lebih muda dari Taichi, Yamato, dan Sora.
Happy reading!
Aku menjinjing tas abu-abu terasa berat. Tumben. Mungkin karena hari ini lebih banyak buku yang harus dibawa. Lebih lagi aku membawa pakaian tambahan sebagai properti drama kelas bahasa. Badanku yang sudah lelah bisa jadi faktor lainnya. Tanganku sedikit pegal, kakiku apalagi. Akan tetapi, aku harus tetap menyusuri jalan raya untuk segera kembali. Sewaktu melewati lapangan, tukang bakpao yang tengah menjajakan dagangannya mengalihkan perhatianku.
"Bakpao?" Merasa memiliki kenangan dengan bakpao, aku bergeming sejenak untuk berpikir. "Oh, benar. Mimi suka bakpao," gumamku.
Setelah melihat isi dompet, aku menghampiri bapak paruh baya penjual bakpao tersebut. Banyak variasi bakpao yang kulihat di daftar menu, tapi aku memilih bakpao cokelat. Ternyata, pedagang ini menerapkan sistem beli satu gratis satu. Lumayan juga, bisa membeli bakpao kacang hijau sekaligus. Sudah murah, penjualnya ramah pula, lengkap sekali.
"Terima kasih, Non. Beli lagi, ya!" ucapnya senang usai memberikan kembalian uangku. Tangannya terlihat sudah keriput. Pasti sudah cukup berumur.
"Sama-sama, Pak. Saya permisi," pamitku.
Aku menunda waktu pulangku ke rumah. Hari ini Mimi tidak masuk, tanpa kabar pula. Sepertinya dia sakit. Kalau aku berikan bakpao, setidaknya dia pasti senang. Perasaannya akan membaik dan semoga kondisi tubuhnya juga. Lagipula, aku memang penasaran mengapa dia absen dari kelas hari ini. Aku harus menemuinya--sekarang.
Mimi tinggal di sebuah mansion. Dindingnya didominasi putih, tetapi diselingi warna hijau dan biru. Aku harus naik ke lantai empat jika ingin menemui Mimi. Sekarang, aku tengah berdiri di hadapan pintu dengan angka 306.
Sebenarnya, mansion mewah ini seutuhnya milik buyutnya Mimi, begitu sobatku pernah bercerita. Setelah buyut Mimi berpulang kepada Tuhan, mansion ini diturunkan terus menerus sampai akhirnya jatuh ke tangan ayah Mimi. Namun, Om dan Tante Tachikawa tidak tinggal di sini. Mereka punya sebuah perusahaan besar di luar negeri. Pusatnya di Amerika Serikat, tapi cabangnya sudah ke mana-mana. Meski demikian, Mimi memutuskan untuk tetap tinggal di Jepang, tanah dia dilahirkan.
Entah mengapa, aku berdebar ketika hendak mengetuk pintu berwarna cokelat tersebut. Akan tetapi, aku sudah memutuskan untuk mengunjungi Mimi, jadi aku harus melakukannya.
"Siapa?"
Terdengar suara serak seseorang dari dalam tepat setelah tanganku bertemu beberapa kali dengan kayu pintu.
"Ehm, Takenouchi," sahutku ragu-ragu dan pintu pun dibuka.
Awalnya, mendengar suara serak tadi, aku menyangka itu adalah seorang nenek tua yang sudah renta. Nyatanya di hadapanku sekarang adalah Mimi yang biasa aku temui. Ah, tidak. Sesuatu berbeda. Ruangan yang biasanya rapi dan tertata itu kini berantakan dengan pakaian dan barang-barang imut yang berserakan di mana-mana.
"Masuk," ajaknya ramah, tapi nadanya--lagi-lagi--berbeda. Dia pun menutup pintu. "Ada apa, Sora-chan? Ada kejadian apa di sekolah?"
Meski sedikit terganggu dengan bau apek yang memenuhi hidungku, aku mencoba tersenyum dan menjawab, "Hanya ingin bertemu denganmu saja. Sehari nggak jumpa, jadi kangen," candaku.
"Oh, begitu,"
"Nggak ganggu, kan?" tanyaku setelah meletakkan tas, kemudian mengikuti langkah Mimi ke balkon.
Mimi tertawa. "Jangan bercanda! Mana mungkin seperti itu," ujarnya. "Oh, tunggu. Ada jus jeruk di kulkas. Sebentar, ya,"
Aku menganggukkan kepala. Mimi meninggalkanku sebentar. Sambil menunggu, aku merebahkan pantat di kursi bambu yang ada. Udara di luar sini berbeda dengan yang di dalam. Di sini segar, pakai kata 'banget'. Inilah AC alami kesukaanku di sore hari.
"Jusnya datang,"
Suara Mimi yang tiba-tiba datang agak mengagetkanku. Terlihat kedua tangannya membawa nampan hitam sebagai alas dua gelas jus jeruk. Di samping gelas-gelas tersebut, terdapat pula sisi merah jambu. Tunggu. Sisir?
Oh, ya, mungkin Mimi mau memakainya. Rambutnya yang berwarna senada dengan sisir tersebut tampak berantakan. Tidak biasanya.
Rambut pink Mimi memang bukan rambut aslinya. Dia mewarnainya sejak duduk di sekolah menengah pertama. Semua karena tuntutan pekerjaan. Dia dulu penyanyi cilik yang sangat terkenal. Beberapa tahun terakhir, dia mengaku ingin fokus ke pendidikannya. Meski demikian, dia merasa sayang dengan rambut pink tersebut sehingga tidak mengembalikan warnanya cokelat seperti semula. Lagipula, sekolah kami tidak melarang muridnya mewarnai rambut.
"Mimi.."
"Ya?" Kepalanya menoleh cepat dengan tetap menyisir rambut. "Kenapa, Sora-chan?"
Sebenarnya, Mimi ini satu angkatan di bawahku, bersama Koushiro. Mungkin karena tingkat keakraban kami yang sangat tinggi sewaktu sekolah dasar, dia jadi meningalkan embel-embel kakak, bahkan menambahkan kata '-chan'. Yah, lagipula aku tidak keberatan.
"Sora-chan?"
"Eh, maksudku.. kenapa hari ini nggak masuk?" tanyaku gugup. Dia mengagetkanku saja. "Ini ketidakhadiranmu yang ke berapa? Belakangan ini kulihat kamu jarang masuk,"
Mimi berhenti sejenak menyisir rambut, tapi melanjutkannya kembali setelah mengalihkan pandangan dari mataku.
"Beberapa waktu yang lalu, ada kasus anak kelas sepuluh nggak naik kelas karena jarang masuk," ujarku hati-hati.
"Memangnya kenapa?" tanyanya lirih. "Masuk nggak masuk, sebenarnya sudah nggak penting lagi," lanjutnya menyudahi acara sisir-menyisir. Dia meletakkan sisir seiring dengan ekspresi wajahnya yang kian muram. Sama seperti ekspresi ketika aku datang tadi.
"Mimi, kau tahu? Koushiro ke kelasku tadi, mencarimu. Taichi dan Yamato juga.. jadi bertanya-tanya," Aku menggeser duduk agar lebih mudah menghadap ke arahnya saat bercerita, tetapi dia sama sekali tidak memandangku. "Bahkan tadi, waktu pulang sekolah, aku berpapasan dengan Joe-senpai. Dia bilang, Koushiro juga datang ke kelasnya untuk menanyakanmu,"
"Begitu, ya?"
"Sebenarnya, kenapa?" tanyaku lagi penuh kekecewaan.
"Yah, begitulah,"
"Kenapa?" Aku mengulang pertanyaan dengan lebih menekan setiap suku kata.
"Nanti juga tahu,"
Hening sejenak. Aku bingung harus berkata apa.
"Kamu bersikap aneh," ucapku terus terang.
Mimi mengangkat kepalanya. Wajahnya memerah dengan kening sedikit berkerut. "Baik, kujelaskan! Kalau aku bilang bahwa lusa aku akan terbang ke New York bagaimana? Tapi bukan untuk berlibur sehari dua hari, melainkan melanjutkan studi sampai beberapa tahun ke depan. Nah, puas?"
Apa?
Seketika perasaanku berkecamuk. Penuturan adik kelasku ini bagaikan ribuan pedang yang seketika menusuk hatiku begitu dalam.
"Ha ha ha, lucu sekali," Aku tertawa getir. "Belajar bercanda dari mana, Mimi?"
Dia membulatkan matanya.
"Ini serius!"
Aku bangkit dan memperkecil jarak di antara kami berdua. Kedua tanganku menyentuh pundaknya, sedangkan mataku menatap jauh ke dalam iris cokelatnya itu.
"Jawab, Mimi. Candaan macam apa ini?"
"Aku pun nggak mau kayak gini," bisiknya seraya menepis kedua tanganku. Suara yang barusan keluar dari bibirnya terdengar bergetar. Ini semakin membuatku tidak mengerti, sedangkan Mimi yang tengah menatap kosong ke arah ubin pun seolah tak ingin menjelaskan.
"Jelaskan baik-baik, Mimi. Kata-katamu sama sekali nggak bisa aku pahami,"
"Intinya Sora-chan, Mommy menyuruhku ke New York, melanjutkan pendidikan di sekolah pilihannya, semata-mata agar aku siap meneruskan bisnis Daddy usai lulus SMA nanti. Luar biasa, kan?" Mimi melepas tawa dengan paksa.
"Bohong, kan?"
"Aku nggak pernah bilang, tapi selama ini aku dirundung dilema. Aku sendirian di mansion ini, sedangkan kedua orangtuaku sibuk di luar sana. Aku bangun tanpa seorang pun mengucapkan selamat pagi, lalu tidur ditemani siaran televisi yang lupa dimatikan. Aku lelah," Mata bulat itu berkaca-kaca, siap untuk menjatuhkan satu demi satu butiran air. "Aku nggak mau pergi ke New York, meninggalkan kalian. Akan tetapi, berada di sini juga sangat menyakitkan. Penghuni kamar sebelah memang ramah. Lagipula, tiap akhir minggu kita sering bersama,"
"Lalu?"
"Tapi, aku cemburu melihat mereka yang tinggal dengan keluarga mereka. Kita pun semakin jarang bertemu juga, kan? Kak Joe sibuk menghadapi ujian akhir, begitu pula kalian kelas sebelas yang pelajarannya berat-berat. Koushiro juga.. sepertinya dia sibuk mempersiapkan diri untuk olimpiade bidang IT beberapa waktu ke depan,"
Sungguh aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi kata demi kata yang merupakan isi hati seorang Tachikawa Mimi. Otakku sulit berpikir jernih, sedangkan dadaku terasa sesak. Mimi tidak lagi melanjutkan ucapannya. Dia ikut berdiri, dan hanya berdiri, membiarkan angin sore berembus mengibarkan rambut yang baru saja dia sisir.
"Aaah, Sora-chan, ajari aku cara memahami takdir yang diberikan Tuhan,"
Seorang Mimi mengucapkan hal itu sambil tertawa; sambil membiarkan air mata terjatuh dari sudut matanya.
Aku mencoba tersenyum dan berlari memeluknya.
Di saat inilah, aku kembali mendengar tangisan kencang Mimi setelah sekian lama, meskipun aku tidak melihat ekspresinya bagaimana.
Mungkin seragamku akan basah oleh air mata, bahkan oleh ingus Mimi. Tapi, kadang-kadang tidak baik menyimpan sesuatu seorang diri. Oleh karena itu, aku membiarkan dirinya meracau tidak jelas, hingga akhirnya dia tampak lebih tenang dan mau lepas dari dekapanku.
"Jadi, kapan kamu berangkat?" tanyaku sesaat setelah kami berdua duduk seperti semula di kursi bambu.
"Lusa," sahutnya masih sedikit sesenggukan. "Apa menurutmu semuanya akan baik-baik saja?"
Aku mengulas senyum. "Kalau kamu pikir begitu, pasti begitu,"
"Begitu, ya,"
"Ya ampun, sudah jam lima," ucapku tatkala melirik arloji di tangan kiri. "Nah, dengarkan. Percaya saja ini yang terbaik untukmu. Tuhan punya skenario sendiri yang endingnya tidak diduga-duga,"
Mimi mengangguk pertanda dia mengerti.
"Aku pamit, ya. Tapi, besok kamu harus datang ke sekolah," lanjutku. "Aku menunggumu. Joe-senpai menunggumu. Taichi juga menunggumu, sama halnya Yamato. Bahkan Takeru dan Hikari. Apalagi si jenius itu. Dia sangat-sangat menunggumu--si Koushiro itu,"
"Iya, aku janji,"
Kami melangkah beriringan ke dalam ruangan. Aku mengambil tas dan menyadari ada sesuatu yang terlupa.
"Astaga," pekikku. "Bakpao untukmu! Aku lupa,"
"Waah," Matanya seketika berbinar-binar.
"Pasti sudah nggak hangat lagi," Aku terdiam sejenak melihat Mimi yang langsung memakannya dengan lahap. "..kan?"
"Nggak apa-apa. Begini saja sudah enak,"
Aku menarik kedua sudut bibirku ke atas, bahkan sampai menunjukkan deretan gigi melihat tingkahnya. Masih saja kekanak-kanakan. Seketika, dua bakpao itu habis. Dia terkesan rakus, tapi sebenarnya sangat elegan dan memiliki bentuk tubuh yang indah--akan tetap indah sekalipun memakan begitu banyak bakpao di kemudian hari, aku rasa.
"Nah, aku pulang, ya," pamitku lagi. "Besok, harus datang!"
Mimi mengangguk-angguk semangat. "Nggak usah diulang. Besok aku pasti ada di kelas,"
Meskipun sedikit terburu-buru agar tiba di rumah sebelum raja siang kembali ke peraduannya, aku menyempatkan diri melambaikan tangan, juga melihatnya balas melambai dengan senyum yang terpatri begitu tulus.
Senyum yang akan terlihat untuk terakhir kalinya besok.
Direvisi pada tanggal 8 Juni 2016, minna! ^ ^)
Miichan berterima kasih jika ada yang memberikan komentar akan fanfiksi yang satu ini~
Oke, sampai jumpa lagi! |^ ^)/
Inilah Digimon. Yang di samping kiri itu pas masih kecil, yang di kanannya yang udah gede. Dari yang pakai baju biru berkacamata di kepala, itu Yagami Taichi. Di sampingnya yang rambut kuning itu Ishida Yamato. Cewek berambut cokelat di baris ke dua itu Takenouchi Sora. Mereka bertiga itu seumuran. Terus cowok rambut merah namanya Izumi Koushiro, yang rambut pink namanya Tachikawa Mimi. Mereka satu tahun lebih muda dari Taichi, Yamato, dan Sora. Terus yang rambut biru namanya Kido Joe, umurnya satu tahun lebih tua dari Taichi, Yamato, dan Sora. Yang baris paling bawah itu Takaishi Takeru sama Yagami Hikari, itu tiga tahun lebih muda dari Taichi, Yamato, dan Sora.
Happy reading!
Mimi-chan
Aku menjinjing tas abu-abu terasa berat. Tumben. Mungkin karena hari ini lebih banyak buku yang harus dibawa. Lebih lagi aku membawa pakaian tambahan sebagai properti drama kelas bahasa. Badanku yang sudah lelah bisa jadi faktor lainnya. Tanganku sedikit pegal, kakiku apalagi. Akan tetapi, aku harus tetap menyusuri jalan raya untuk segera kembali. Sewaktu melewati lapangan, tukang bakpao yang tengah menjajakan dagangannya mengalihkan perhatianku.
"Bakpao?" Merasa memiliki kenangan dengan bakpao, aku bergeming sejenak untuk berpikir. "Oh, benar. Mimi suka bakpao," gumamku.
Setelah melihat isi dompet, aku menghampiri bapak paruh baya penjual bakpao tersebut. Banyak variasi bakpao yang kulihat di daftar menu, tapi aku memilih bakpao cokelat. Ternyata, pedagang ini menerapkan sistem beli satu gratis satu. Lumayan juga, bisa membeli bakpao kacang hijau sekaligus. Sudah murah, penjualnya ramah pula, lengkap sekali.
"Terima kasih, Non. Beli lagi, ya!" ucapnya senang usai memberikan kembalian uangku. Tangannya terlihat sudah keriput. Pasti sudah cukup berumur.
"Sama-sama, Pak. Saya permisi," pamitku.
Aku menunda waktu pulangku ke rumah. Hari ini Mimi tidak masuk, tanpa kabar pula. Sepertinya dia sakit. Kalau aku berikan bakpao, setidaknya dia pasti senang. Perasaannya akan membaik dan semoga kondisi tubuhnya juga. Lagipula, aku memang penasaran mengapa dia absen dari kelas hari ini. Aku harus menemuinya--sekarang.
Mimi tinggal di sebuah mansion. Dindingnya didominasi putih, tetapi diselingi warna hijau dan biru. Aku harus naik ke lantai empat jika ingin menemui Mimi. Sekarang, aku tengah berdiri di hadapan pintu dengan angka 306.
Sebenarnya, mansion mewah ini seutuhnya milik buyutnya Mimi, begitu sobatku pernah bercerita. Setelah buyut Mimi berpulang kepada Tuhan, mansion ini diturunkan terus menerus sampai akhirnya jatuh ke tangan ayah Mimi. Namun, Om dan Tante Tachikawa tidak tinggal di sini. Mereka punya sebuah perusahaan besar di luar negeri. Pusatnya di Amerika Serikat, tapi cabangnya sudah ke mana-mana. Meski demikian, Mimi memutuskan untuk tetap tinggal di Jepang, tanah dia dilahirkan.
Entah mengapa, aku berdebar ketika hendak mengetuk pintu berwarna cokelat tersebut. Akan tetapi, aku sudah memutuskan untuk mengunjungi Mimi, jadi aku harus melakukannya.
"Siapa?"
Terdengar suara serak seseorang dari dalam tepat setelah tanganku bertemu beberapa kali dengan kayu pintu.
"Ehm, Takenouchi," sahutku ragu-ragu dan pintu pun dibuka.
Awalnya, mendengar suara serak tadi, aku menyangka itu adalah seorang nenek tua yang sudah renta. Nyatanya di hadapanku sekarang adalah Mimi yang biasa aku temui. Ah, tidak. Sesuatu berbeda. Ruangan yang biasanya rapi dan tertata itu kini berantakan dengan pakaian dan barang-barang imut yang berserakan di mana-mana.
"Masuk," ajaknya ramah, tapi nadanya--lagi-lagi--berbeda. Dia pun menutup pintu. "Ada apa, Sora-chan? Ada kejadian apa di sekolah?"
Meski sedikit terganggu dengan bau apek yang memenuhi hidungku, aku mencoba tersenyum dan menjawab, "Hanya ingin bertemu denganmu saja. Sehari nggak jumpa, jadi kangen," candaku.
"Oh, begitu,"
"Nggak ganggu, kan?" tanyaku setelah meletakkan tas, kemudian mengikuti langkah Mimi ke balkon.
Mimi tertawa. "Jangan bercanda! Mana mungkin seperti itu," ujarnya. "Oh, tunggu. Ada jus jeruk di kulkas. Sebentar, ya,"
Aku menganggukkan kepala. Mimi meninggalkanku sebentar. Sambil menunggu, aku merebahkan pantat di kursi bambu yang ada. Udara di luar sini berbeda dengan yang di dalam. Di sini segar, pakai kata 'banget'. Inilah AC alami kesukaanku di sore hari.
"Jusnya datang,"
Suara Mimi yang tiba-tiba datang agak mengagetkanku. Terlihat kedua tangannya membawa nampan hitam sebagai alas dua gelas jus jeruk. Di samping gelas-gelas tersebut, terdapat pula sisi merah jambu. Tunggu. Sisir?
Oh, ya, mungkin Mimi mau memakainya. Rambutnya yang berwarna senada dengan sisir tersebut tampak berantakan. Tidak biasanya.
Rambut pink Mimi memang bukan rambut aslinya. Dia mewarnainya sejak duduk di sekolah menengah pertama. Semua karena tuntutan pekerjaan. Dia dulu penyanyi cilik yang sangat terkenal. Beberapa tahun terakhir, dia mengaku ingin fokus ke pendidikannya. Meski demikian, dia merasa sayang dengan rambut pink tersebut sehingga tidak mengembalikan warnanya cokelat seperti semula. Lagipula, sekolah kami tidak melarang muridnya mewarnai rambut.
"Mimi.."
"Ya?" Kepalanya menoleh cepat dengan tetap menyisir rambut. "Kenapa, Sora-chan?"
Sebenarnya, Mimi ini satu angkatan di bawahku, bersama Koushiro. Mungkin karena tingkat keakraban kami yang sangat tinggi sewaktu sekolah dasar, dia jadi meningalkan embel-embel kakak, bahkan menambahkan kata '-chan'. Yah, lagipula aku tidak keberatan.
"Sora-chan?"
"Eh, maksudku.. kenapa hari ini nggak masuk?" tanyaku gugup. Dia mengagetkanku saja. "Ini ketidakhadiranmu yang ke berapa? Belakangan ini kulihat kamu jarang masuk,"
Mimi berhenti sejenak menyisir rambut, tapi melanjutkannya kembali setelah mengalihkan pandangan dari mataku.
"Beberapa waktu yang lalu, ada kasus anak kelas sepuluh nggak naik kelas karena jarang masuk," ujarku hati-hati.
"Memangnya kenapa?" tanyanya lirih. "Masuk nggak masuk, sebenarnya sudah nggak penting lagi," lanjutnya menyudahi acara sisir-menyisir. Dia meletakkan sisir seiring dengan ekspresi wajahnya yang kian muram. Sama seperti ekspresi ketika aku datang tadi.
"Mimi, kau tahu? Koushiro ke kelasku tadi, mencarimu. Taichi dan Yamato juga.. jadi bertanya-tanya," Aku menggeser duduk agar lebih mudah menghadap ke arahnya saat bercerita, tetapi dia sama sekali tidak memandangku. "Bahkan tadi, waktu pulang sekolah, aku berpapasan dengan Joe-senpai. Dia bilang, Koushiro juga datang ke kelasnya untuk menanyakanmu,"
"Begitu, ya?"
"Sebenarnya, kenapa?" tanyaku lagi penuh kekecewaan.
"Yah, begitulah,"
"Kenapa?" Aku mengulang pertanyaan dengan lebih menekan setiap suku kata.
"Nanti juga tahu,"
Hening sejenak. Aku bingung harus berkata apa.
"Kamu bersikap aneh," ucapku terus terang.
Mimi mengangkat kepalanya. Wajahnya memerah dengan kening sedikit berkerut. "Baik, kujelaskan! Kalau aku bilang bahwa lusa aku akan terbang ke New York bagaimana? Tapi bukan untuk berlibur sehari dua hari, melainkan melanjutkan studi sampai beberapa tahun ke depan. Nah, puas?"
Apa?
Seketika perasaanku berkecamuk. Penuturan adik kelasku ini bagaikan ribuan pedang yang seketika menusuk hatiku begitu dalam.
"Ha ha ha, lucu sekali," Aku tertawa getir. "Belajar bercanda dari mana, Mimi?"
Dia membulatkan matanya.
"Ini serius!"
Aku bangkit dan memperkecil jarak di antara kami berdua. Kedua tanganku menyentuh pundaknya, sedangkan mataku menatap jauh ke dalam iris cokelatnya itu.
"Jawab, Mimi. Candaan macam apa ini?"
"Aku pun nggak mau kayak gini," bisiknya seraya menepis kedua tanganku. Suara yang barusan keluar dari bibirnya terdengar bergetar. Ini semakin membuatku tidak mengerti, sedangkan Mimi yang tengah menatap kosong ke arah ubin pun seolah tak ingin menjelaskan.
"Jelaskan baik-baik, Mimi. Kata-katamu sama sekali nggak bisa aku pahami,"
"Intinya Sora-chan, Mommy menyuruhku ke New York, melanjutkan pendidikan di sekolah pilihannya, semata-mata agar aku siap meneruskan bisnis Daddy usai lulus SMA nanti. Luar biasa, kan?" Mimi melepas tawa dengan paksa.
"Bohong, kan?"
"Aku nggak pernah bilang, tapi selama ini aku dirundung dilema. Aku sendirian di mansion ini, sedangkan kedua orangtuaku sibuk di luar sana. Aku bangun tanpa seorang pun mengucapkan selamat pagi, lalu tidur ditemani siaran televisi yang lupa dimatikan. Aku lelah," Mata bulat itu berkaca-kaca, siap untuk menjatuhkan satu demi satu butiran air. "Aku nggak mau pergi ke New York, meninggalkan kalian. Akan tetapi, berada di sini juga sangat menyakitkan. Penghuni kamar sebelah memang ramah. Lagipula, tiap akhir minggu kita sering bersama,"
"Lalu?"
"Tapi, aku cemburu melihat mereka yang tinggal dengan keluarga mereka. Kita pun semakin jarang bertemu juga, kan? Kak Joe sibuk menghadapi ujian akhir, begitu pula kalian kelas sebelas yang pelajarannya berat-berat. Koushiro juga.. sepertinya dia sibuk mempersiapkan diri untuk olimpiade bidang IT beberapa waktu ke depan,"
Sungguh aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi kata demi kata yang merupakan isi hati seorang Tachikawa Mimi. Otakku sulit berpikir jernih, sedangkan dadaku terasa sesak. Mimi tidak lagi melanjutkan ucapannya. Dia ikut berdiri, dan hanya berdiri, membiarkan angin sore berembus mengibarkan rambut yang baru saja dia sisir.
"Aaah, Sora-chan, ajari aku cara memahami takdir yang diberikan Tuhan,"
Seorang Mimi mengucapkan hal itu sambil tertawa; sambil membiarkan air mata terjatuh dari sudut matanya.
Aku mencoba tersenyum dan berlari memeluknya.
Di saat inilah, aku kembali mendengar tangisan kencang Mimi setelah sekian lama, meskipun aku tidak melihat ekspresinya bagaimana.
Mungkin seragamku akan basah oleh air mata, bahkan oleh ingus Mimi. Tapi, kadang-kadang tidak baik menyimpan sesuatu seorang diri. Oleh karena itu, aku membiarkan dirinya meracau tidak jelas, hingga akhirnya dia tampak lebih tenang dan mau lepas dari dekapanku.
"Jadi, kapan kamu berangkat?" tanyaku sesaat setelah kami berdua duduk seperti semula di kursi bambu.
"Lusa," sahutnya masih sedikit sesenggukan. "Apa menurutmu semuanya akan baik-baik saja?"
Aku mengulas senyum. "Kalau kamu pikir begitu, pasti begitu,"
"Begitu, ya,"
"Ya ampun, sudah jam lima," ucapku tatkala melirik arloji di tangan kiri. "Nah, dengarkan. Percaya saja ini yang terbaik untukmu. Tuhan punya skenario sendiri yang endingnya tidak diduga-duga,"
Mimi mengangguk pertanda dia mengerti.
"Aku pamit, ya. Tapi, besok kamu harus datang ke sekolah," lanjutku. "Aku menunggumu. Joe-senpai menunggumu. Taichi juga menunggumu, sama halnya Yamato. Bahkan Takeru dan Hikari. Apalagi si jenius itu. Dia sangat-sangat menunggumu--si Koushiro itu,"
"Iya, aku janji,"
Kami melangkah beriringan ke dalam ruangan. Aku mengambil tas dan menyadari ada sesuatu yang terlupa.
"Astaga," pekikku. "Bakpao untukmu! Aku lupa,"
"Waah," Matanya seketika berbinar-binar.
"Pasti sudah nggak hangat lagi," Aku terdiam sejenak melihat Mimi yang langsung memakannya dengan lahap. "..kan?"
"Nggak apa-apa. Begini saja sudah enak,"
Aku menarik kedua sudut bibirku ke atas, bahkan sampai menunjukkan deretan gigi melihat tingkahnya. Masih saja kekanak-kanakan. Seketika, dua bakpao itu habis. Dia terkesan rakus, tapi sebenarnya sangat elegan dan memiliki bentuk tubuh yang indah--akan tetap indah sekalipun memakan begitu banyak bakpao di kemudian hari, aku rasa.
"Nah, aku pulang, ya," pamitku lagi. "Besok, harus datang!"
Mimi mengangguk-angguk semangat. "Nggak usah diulang. Besok aku pasti ada di kelas,"
Meskipun sedikit terburu-buru agar tiba di rumah sebelum raja siang kembali ke peraduannya, aku menyempatkan diri melambaikan tangan, juga melihatnya balas melambai dengan senyum yang terpatri begitu tulus.
Senyum yang akan terlihat untuk terakhir kalinya besok.
-OWARI-
Direvisi pada tanggal 8 Juni 2016, minna! ^ ^)
Miichan berterima kasih jika ada yang memberikan komentar akan fanfiksi yang satu ini~
Oke, sampai jumpa lagi! |^ ^)/
Ceritanya sedih, lagunya bagus. Good fanfic! Lanjutkeun euy!
BalasHapusMakasih, sipsip :)
Hapusmaaf ya kalau boleh koreksi infonya, bukannya namanya taichi itu "Yagami Taichi" ya? terus takeru dan hikari tiga tahun lebih muda loh dari taichi, yamato, dan sora..
BalasHapusIya, makasih ya koreksinya :) Miichan tau namanya Yagami Taichi, cuma lagi mikirin Miiko malah jadi Yamada Taichi, terus malas ganti xD Oya, yang soal Takari, makasih ya :) Itu Miichan sama sekali lupa, arigatou *bow*
BalasHapusFanfiksinya bagus (^w^)/ Ditunggu sequelnya kalau ada, hehe :D
BalasHapusWah, terima kasih ^^ Maaf, Soranee, nggak ada sekuelnya ^^ Datang lagi ya! {}
Hapus